Lihat ke Halaman Asli

Coretan Dini Hari: Cinta Tak Beralas untuk Kebanggaan

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selalu ada kalimat-kalimat pembakar semangat ketika saya membuka media sosial berlogo burung itu. Selalu dari orang-orang yang sama, mereka yang telah bejuang dari bawah, dari nol bersama-sama dan hingga kini mereka masih bersama dalam kecintaan yang telah dipupuk sejak bertahun silam.

Mereka adalah panutan bagi saya yang masih “kecil” ini, yang masih belajar untuk tahu bagaimana cinta itu harus dibuktikan, bagaimana kerasnya berjuang mempertahankan apa yang kamu cinta, dan bagaimana menghadapi cacian dan cibiran yang suatu saat akan saya dapat.

Saya bukannya tidak tahu ada orang yang membicarakan saya dibelakang saya karena pilihan saya ini. Terutama karena  latar belakang pendidikan saya sekarang ini. Seorang mahasiswi universitas berbasis agama yang seharusnya seperti itu. Tidak perlu saya paparkan panjang lebar, kan, yang seperti apa? Pasti kalian sudah tahu yang saya maksud. J

Awalnya saya tidak sebebas ini. Kepada orang tua, saya masih menutupi aktivitas baru saya yang belum pernah dilakukan anggota keluarga saya. Tapi, seiring berjalannya waktu, kedua orang tua saya mengetahui aktivitas saya tersebut. Alhamdulillah, keduanya tidak melarang kegiatan saya tersebut.

Terima kasih kepada teman-teman baru saya yang sampai sekarang mengajarkan pada saya apa itu cinta. Cinta itu pengorbanan, cinta itu ketidaksanggupan melihat dia yang kita cinta menderita. Terima kasih kepada Tuhan yang telah menakdirkan saya merasakan usia 18 tahun yang penuh cinta dan pengalaman baru. Terima kasih kepada mereka yang menerima saya dengan tangan terbuka dan mengajarkan pada saya bagaimana saya harus bersikap disini.

Dalam delapan belas tahun hidup saya, saya hanya menjalaninya dengan datar, monoton. Hanya sekolah, pulang ke rumah, mengerjakan tugas, dan terkadang bermain dengan beberapa teman. Meski ada kegiatan yang saya lakukan karena kewajiban dan kesenangan, seperti menjadi anggota Paskibra, anggota OSIS, dan bermain bulutangkis, tapi itu tidak menimbulkan kecintaan seperti ini bagi saya.

Saya memang tipe orang yang menyukai keheningan untuk membiarkan imajinasi saya terpancing keluar, atau dengan menghabiskan beberapa buku ketika saya merasa sunyi. Tapi, ketika usia saya 18 tahun kemarin, saya menemukan sesuatu yang baru bagi saya.

Saya menemukan diri saya mencintai sepakbola.

Bukan sebuah tim yang terkenal di seluruh dunia.

Hanyalah sebuah tim lokal dari daerah yang menjadi tempat saya berpijak dan menghabiskan hidup saya disana.

Hanyalah PSS Sleman, tidak sekelas tim-tim dunia. Bahkan di negaranya sendiri pun tim itu ingin “dibunuh”, dijatuhkan langkahnya, dihilangkan rekam jejaknya, dihapus keberadaannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline