Lihat ke Halaman Asli

Isnaeni

Belajar dengan menulis.

Menanam Tanaman dan Mengubur Sampah Organik

Diperbarui: 20 Oktober 2023   20:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi pribadi

Rumah kami menempati lahan yang memanjang, sebagian besar digunakan untuk bangunan dan sebagian lagi untuk dibiarkan terbuka. Kami biarkan supaya cahaya matahari tetap menyinari bagian rumah kami yang dikelilingi oleh rumah-rumah yang tinggi dan megah. 

Pertama kali menempati rumah ini, kami mendapati halaman belakang kami ditumpuki sampah-sampah. Sampah-sampah anorganik, pecahan-pecahan bangunan (barangkal) serta rumput-rumput takberaturan. Tak mengherankan, karena sebelumnya rumah kami merupakan rumah mertua yang dikontrakkan atau digadaikan kepada orang lain. Setelah kami tempati, kami berusaha menempati rumah mertua itu dengan memelihara dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak serta membersihkan bagian-bagian yang kotor. 

Beberapa bagian rumah kami renovasi dan kami cat supaya kami betah tinggal di rumah tersebut, karena kami pasangan yang baru dikaruniai satu anak perempuan yang berumur 8 bulan. Dengan tinggal mandiri jauh dari orang tua dan mertua, kami berharap dapat membangun kehidupan baru dan rezeki baru.

Langkah pertama yang kami lakukan adalah membuat lobang untuk sampah yang ada di halaman belakang rumah. Dengan bantuan adik ipar, Kami mengumpulkan sampah dan memasukkannya ke karung, lalu menguburkannya di lobang yang kami buat. Setelah merapikan tanahnya, Kami menanam halaman belakang dengan tanaman yang ada. Dengan melempar sampah dapur berupa bumbu dapur yang sudah kering, maka tumbuhlah tanaman cabe rawit atau juga tomat begitu lebatnya.

Begitu juga tanaman yang isteri dapatkan dari hasil berburu tanaman, maka kami tanam di halaman belakang kami. Hanya saja ada hama yang suka merusak tanaman kami, yaitu ayam tetangga yang dengan tanpa dosanya merusak kebun yang kami buat. Akhirnya Kami mengupah orang untuk membuat pagar dari bambu. Tapi tetap saja sesekali ayam bisa lolos ke kebun belakang kami, hanya tidak sesering ketika kebun tanpa pagar. 

Dokumentasi Pribadi

Kebun yang ada pun hanya sekedarnya, berhubung karena Saya bukan keluarga petani dan waktu yang kami gunakan untuk berkebun hanya sekedarnya, maka hasil pekerjaan kami juga seadanya. Hasil tanaman hanya untuk kebutuhan sendiri, karena kalau dijual juga terlalu sedikit. Hanya rasa bahagia kalau melihat tanaman berbuah atau berbunga, dan rasa senang ketika ada tetangga yang meminta karena membutuhkan tanaman kami.

Beberapa tahun kemudian, Kami kesulitan membuang sampah karena warga di sekitar tempat biasa kami membuang sampah merasa keberatan. Akhirnya Saya mencari cara untuk mengurangi sampah rumah, dan salah satu caranya adalah memilah sampah yang kami hasilkan. Ada sampah organik, sampah kering (kertas, plastik), sampah popok, dan sampah botol plastik yang bisa didaur ulang. 

Untuk sampah organik, Saya kubur di halaman belakang rumah dan hasilnya cukup memuaskan. Tanah tampak subur setelah beberapa minggu dan warna serta tekstur tanah begitu hitam dan subur. Tanaman lebih mudah tumbuh dan dari tanah halaman belakang tersebut muncul berbagai tanaman yang sebelumnya tidak kami sangka. Diantara tanaman yang muncul adalah tanaman timun suri, labu butter nut, beberapa jenis pepaya serta tanaman tomat. 

Dokumentasi pribadi

Begitu banyaknya tanaman yang tumbuh memaksa kami mencabut beberapa tanaman yang terlalu rimbun.  Menanam tanaman di halaman belakang yang dikelilingi rumah  tetangga membuat kami harus menjaga agar tidak mengganggu kenyamanan tetangga. Dengan terpaksa kami menebang pohon jambu batu, pohon pepaya karena takut membuat kotor tetangga dengan daun atau ulat yang terbawa angin ke rumah tetangga. 

Begitu pula pohon tinggi yang mengait ke kabel telepon yang menuju tetangga terpaksa kami tebang, sehingga sekarang hanya ada tanaman yang pendek-pendek dan di musim kemarau seperti sekarang ini tidak memberikan keteduhan. Rencananya kami ingin mencari pohon yang tidak terlalu tinggi, tidak terlalu berbahaya akarnya terhadap bangunan dan tentunya bermanfaat bagi ketahanan pangan kami. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline