Jumat, pukul 21.26 WIB, masuk notifikasi WhatsApp dari suami. Pesan itu berupa dokumen pdf dengan judul yang tertera “LEMBAR INFORMASI_PERSAMI PARADANCE”. Dance? Karena penasaran, langsung saja kubaca. Enam halaman di dokumen tersebut berisi tentang penjelasan apa itu persami paradance, profil fasilitator yang akan mendampingi, sampai runtutan kegiatan selama dua hari ke depan, yaitu hari Sabtu dan hari Minggu.
Karena ragu, aku menghampiri suami di teras rumah. Oh, ternyata ada kawan yang berkunjung. Kawan itulah yang mendesak suami supaya aku mau mengikuti kegiatan Persami Paradance. Acara tersebut berlangsung besok paginya di Wisma Kampoeng Media, Sleman, Yogyakarta.
Persami Paradance sendiri merupakan program dari Paradance Platform yang diisi dengan berbagai kegiatan, seperti workshop, pelatihan, juga bootcamp. Nah, acara ini sebenarnya ditujukan untuk para seniman pertunjukan yang utamanya adalah anak-anak tari atau koreografer muda. Itulah yang kemudian memantik keraguanku.
Pertama, aku bukan seniman dan belum pernah terlibat langsung di sebuah pertunjukan. Posisiku masih selalu berada di kursi penonton, sebagai penikmat saja. Kedua, persami paradance kali ini mengangkat tema workshop “Kesetaraan Gender untuk Seniman Pertunjukan”. Aku masih sangat awam dengan isu kesetaraan gender. Jujur saja, isu tersebut sudah sering aku dengar, tapi memang aku belum ada ketertarikan untuk memahami lebih lanjut. Pukul 23.00an kuputuskan mengonfirmasi ke nomor yang tercantum, Mbak Nia Agustina, untuk mengikuti persami tersebut. Dengan catatan, aku bukan seorang seniman. Haha. Dan ternyata tidak masalah, karena poinnya adalah kesetaraan gender.
Sepanjang malam itu, entah mengapa ada perasaan gelisah. Kuakui, untuk bisa menikmati suatu acara, terlebih itu di keramaian, terlebih lagi itu acara menginap, aku butuh effort mengumpulkan energi. Ya, begitulah. Energiku mudah terkuras di acara-acara tertentu.
HARI PERTAMA
Paginya sampai juga di tempat acara. Bertemu lagi dengan Mas Dibyo, kawan suami yang semalam datang. Aku suka vibes di tempat acaranya. Suara kicau burung, aliran sungai, gesekan antara ranting pepohonan yang terkena angin. Hmm, cukup membantuku meminimalisir rasa gelisah. Apalagi setelah para peserta dan fasilitator mulai berdatangan, workshop siap dimulai, dan aku cukup bisa menguasai diri untuk tetap bersikap tenang.
Perkenalan
Seperti acara pada umumnya, workshop ini dimulai dengan perkenalan antar peserta dan fasilitator. Yang membuat berbeda adalah, peserta tidak memperkenalkan dirinya sendiri, melainkan memperkenalkan peserta lain yang duduk di sisi kirinya. Jadi, mau tidak mau antara peserta harus saling menggali info lebih dalam. Dan menurutku, permulaan acara jadi terasa seru dengan perkenalan semacam ini. Karena semua yang terlibat di kegiatan workshop ini jadi lebih banyak saling berinteraksi.
Sebelum memasuki sesi lebih lanjut, fasilitator kami, Fitri Indra Harjanti dan Indiah Wahyu Andari memberikan pretest untuk para peserta. Tujuan pretest ini untuk mengetahui seberapa jauh pemahaman kami tentang kesetaraan gender. Cukup bikin aku agak mikir, sih.