Lihat ke Halaman Asli

Ismuziani ita

Mental Health Nurse

Kasih yang Tertunda

Diperbarui: 12 Juli 2020   12:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

foto: www.freepik.com

Ustazah masih menyimak setiap kata yang keluar dari mulutku, memberikan aku ruang untuk mencurahkan perasaanku, aku mencoba tenang dan santai meskipun jiwaku terguncang, aku ingin bebas dari semua ini, aku ingin meminta suamiku menceraikan aku saja.

"Demikianlah pembahasan pengajian kita pada malam ini, tentang kesabaran seorang istri menyikapi masalah dalam konteks keluarga, selanjutnya saya berikan waktu pada Ibu-ibu shalihah , jika ada yang ingin ditanyakan,akan kita diskusikan lagi, Jika saya tak mampu menyelesaikan malam ini, saya akan mencoba menambahkannya malam jum'at minggu depan " Suara wibawa ustazah Fatimah menutup pengajian malam ini.

Malam ini ustazah menjabarkan tentang kesabaran seorang istri dalam rumah tangga, aku sangat ingin bertanya, karena keterbatasan ilmu ku dalam hal ini. Ustazah ber ulang kali mengingatkan dalam kajian yang baru saja selesai, agar seorang istri bersabar atas sikap suami yang tidak berkenan, tetap bersabar atas semua masalah yang menimpa, mencoba saling berkomunikasi dengan pasangan jika ada masalah dan jika ingin memutuskan sesuatu hal.

Aku terdiam menunduk, aku seperti ditampar berkali kali, atas ketidak sabaran ku, atas semua prilaku dan sikapku pada Roni suamiku, lelaki yang menikahi ku sepuluh tahun silam.

Lelaki yang dipanggil Ayah oleh Alif, putra tunggal kami yang kini berusia sembilan tahun, masih berseragam merah putih, yang sering terluka dan kecewa atas perlakuan dan sikap Sang ayah.

Alif, yang malam ini tertidur dalam pangkuanku, aku harus membawa putraku ke Meunasah tempat pengajian digelar, karena aku tak mau ketinggalan pengajian mingguan, meskipun tadi sore sempat beradu argumen dengan suamiku. Aku memohon padanya untuk bersedia menemani Alif dirumah, dengan harapan jika Alif dijaga oleh suamiku, aku tidak kerepotan harus membawa Alif ke tempat pengajian. Roni, sang suami malah memakiku, dengan suara yang keras, seiring dengan tangannya yang mendarat bebas di pipi kiriku.

Tamparan sore tadi, menyisakan lagi kenangan pahit yang tak ingin aku kenang. Tamparan demi tamparan sering menghiasi pipiku, lukisan abadi dari tangan suamiku, lelaki yang pernah sangat aku cintai, lelaki yang telah memintaku menjadi pendamping hidupnya sampai akhir hayat, yang pernah berjanji akan menjadikan aku ratu di hati dan di rumahnya.

Airmata duka mengkristal di sudut mataku, sebelum butiran itu membulat dan menetes, aku menghilangkannya dengan ujung kerudung ku. Aku lupa membawa saputangan, secepat kilat aku keringkan butiran bening ini menggunakan benda apa saja yang berfungi untuk menghapus mataku yang basah.

" Rina, kamu kenapa? " setengah berbisik suara Lia sahabatku membuat aku kaget, Lia tak hanya berbisik, dia juga menyenggol aku dengan sikunya. Lamunanku seketika buyar, pandangan ku kembali fokus ke depan, kembali menyimak suara Ustazah Fatimah menanggapi pertanyaan dari salah satu majelis di pengajian malam ini.

"Bagaimana buk Yani, apa masih ada yang ingin ditanyakan, terkait penjelasan saya barusan, atau apa bisa kita cukupkan sampai disini ?" Tanya Ustazah Fatimah pada Yani. Ntah apa yang ditanyakan oleh Yani pada Ustazah, dan aku juga tidak tahu apa jawaban Ustazah pada menanggapi pertanyaan Yani. Beberapa menit berlaku tanpa terekam di memori ingatanku.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline