Lihat ke Halaman Asli

Bagaimana Kondisi Psikologis Anak-anak di Masa Pandemi?

Diperbarui: 16 Maret 2021   21:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber: Media Kit_Kiprah Psikolog Klinis untuk Indonesia di Masa Pandemi.

Pandemi covid-19 menyebabkan terjadinya perubahan pada berbagai segi kehidupan. Perubahan yang paling terlihat adalah diberlakukannya pembatasan sosial di berbagai daerah. Toko, mall, sekolah, kantor,  tempat ibadah, dan berbagai lokasi lain yang berpotensi menjadi tempat kerumunan dibatasi jam operasionalnya, bahkan ditutup. Di awal-awal masa pandemi, kita semua pernah mencicipi betapa mencekamnya kesunyian di sela-sela riuhnya berita tentang jumlah korban yang terus bertambah. Berdiam diri di dalam rumah, sambil terus waspada mengikuti perkembangan berita tak dipungkiri memunculkan ketegangan psikologis tersendiri di dalam diri kita masing-masing.

Ketika kembali beraktivitas ke luar rumah, kita pun harus menyesuaikan diri dengan berbagai protokol kesehatan untuk menghindari resiko penularan. Memakai masker, kerap mencuci tangan, dan jaga jarak didengungkan di setiap sudut lokasi. Disadari ataupun tidak, berusaha tertib membiasakan diri melakukan berbagai protokol kesehatan ini pun ternyata memunculkan ketegangan psikologis yang bervariasi pada masing-masing individu.

Entah kita berdiam diri di rumah, ataupun tetap beraktivitas di luar rumah dengan protokol yang ketat, kita semua tampaknya mengalami ketegangan psikologis di masa pandemi ini. We are all in the same storm. Namun demikian, manifestasi ketegangan ini tentu berbeda-beda pada setiap orang. Ada yang kemudian dapat mengelola ketegangan ini menjadi bentuk kewaspadaan yang sehat. Namun ada pula yang kewalahan hingga ketegangan ini muncul dalam bentuk berbagai masalah ataupun gangguan psikologis. Mungkin kita berpikir bahwa hanya orang dewasa yang merasakan ketegangan psikologis di masa pandemi. Karena menganggap dunia anak adalah dunia yang penuh kegembiraan, bisa jadi kita lalu berasumsi bahwa anak-anak tidak mengalami ketegangan psikologis di masa pandemi ini.  Tapi benarkah demikian?

Tim Satgas IPK Indonesia untuk Penanggulangan COVID-19 melakukan pendataan terkait layanan yang diberikan oleh psikolog klinis selama masa pandemi. Sebanyak 194 Psikolog Klinis yang tersebar di 27 wilayah melaporkan jumlah klien yang telah mengakses layanan dan memperoleh penanganan psikologis sesuai diagnosis.

Dari data yang berhasil dikumpulkan sepanjang bulan Maret hingga Agustus 2020, diketahui total jumlah klien individu yang mengakses layanan psikologis sebesar 14.619 orang. Dari jumlah total ini, sebanyak 4.690 orang termasuk dalam kategori usia anak/remaja, sebanyak 9.428 orang termasuk dalam kategori usia dewasa, dan sebanyak 501 orang termasuk dalam kategori usia lansia. Selain itu terdapat juga 927 klien keluarga dan 191 klien komunitas yang mengakses layanan psikologis. Data ini menunjukkan bahwa masalah psikologis ternyata tidak hanya dialami kelompok usia tertentu saja. Bukan hanya orang dewasa yang mengalami masalah psikologis. Anak-anak yang mungkin kita anggap tidak paham dengan berbagai masalah keseharian, ternyata juga mengalami masalah psikologis di masa pandemi ini. Meskipun data menunjukkan bahwa sebagian besar klien yang mengakses layanan psikologis adalah orang dewasa, namun berdasarkan periode layanan, jumlah klien anak/ remaja ternyata mengalami kenaikan di setiap periodenya. Lagi-lagi tidak dapat dipungkiri, anak-anak pun mengalami ketegangan psikologis di masa pandemi ini.

Lebih lanjut, data yang dikumpulkan Tim Satgas IPK untuk penanganan covid juga mengkategorisasikan 6 masalah dengan jumlah klien terbanyak. Kategorisasi ini disusun berdasarkan hasil diagnosis oleh psikolog klinis, dan bukan hanya sekedar keluhan dari klien. Secara umum, hambatan terkait dengan pembelajaran merupakan hal yang paling banyak ditemukan, khususnya pada klien anak dan remaja (prevalensi 27,1%). Sedangkan masalah psikologis yang secara konsisten banyak ditemukan pada semua kelompok usia adalah masalah stres umum, masalah kecemasan, masalah mood, dan masalah somatis.

Dari data ini kita dapat menyimpulkan bahwa adaptasi dalam hal pembelajaran merupakan hal yang cukup menantang di masa pandemi ini. Anak-anak yang biasanya rutin berangkat sekolah di pagi hari dan melakukan berbagai aktivitas pembelajaran di sekolah, terpaksa harus membangun rutinitas yang baru di masa pandemi ini. Perubahan rutinitas ini bukan hanya sekedar dalam hal jam belajar, melainkan juga dalam bentuk penyesuaian metode belajar.  Melihat tingginya prevalensi hambatan belajar yang dialami di masa pandemi, mungkin kita semua kemudian berasumsi seharusnya sekolah segera kembali dibuka demi kesehatan mental anak-anak kita. Hal ini tampak akan menjadi solusi bagi banyak masalah kaena tidak jarang saya menemukan guru dan orangtua pun cukup frustasi ketika harus mendampingi anak belajar di rumah. Bahkan sampai ada celetukan yang mengatakan, “anak sekolah daring, ortu dan guru darting (darah tinggi)”.

Tapi benarkah kesehatan mental anak-anak akan lebih baik ketika kembali bersekolah tatap muka di masa pandemi ini? Hasil penelitian lain yang dilakukan Tim Satgas IPK Indonesia untuk Penanggulangan COVID-19 ternyata menunjukkan fakta yang berbeda dengan dugaan kita.

Pada bulan november 2020, Tim satgas IPK melakukan pengambilan data melalui  pengisian kuisioner online via Google Form. Sebanyak  15.304 siswa yang berasal dari 384 sekolah di 12 provinsi tercatat menjadi partisipan dalam penelitian ini. Range usia partisipan adalah 7 tahun hingga 21 tahun dengan proporsi sebanyak 40,2 % partisipan berjenis kelamin laki-laki dan sebanyak 59,8% partisipan berjenis kelamin perempuan. Salah satu tujuan penelitian ini adalah memberikan gambaran kondisi kesehatan mental siswa di masa pandemi.

Hasil penelitian ini menyimpulkan satu dari empat siswa (25%) ditemukan mengalami masalah kesehatan mental. Proporsi ini relatif serupa pada siswa dengan berbagai cara belajar dari semua jenjang dan provinsi yang berpartisipasi. Mencermati data yang ditampilkan dalam grafik Gambaran Kondisi Kesehatan Mental Antar Jenjang Pendidikan, kita dapat melihat bahwa di berbagai jenjang pendidikan dan di tiap metode/cara pembelajaran, ternyata anak pun tetap mengalami masalah kesehatan mental. Di grafik yang memuat data anak usia SD bahkan terlihat bahwa anak-anak yang mengikuti pembelajaran dengan cara tatap muka langsung di masa pandemi justru menunjukkan presentase terbesar mengalami  masalah kesehatan mental.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline