Lihat ke Halaman Asli

Ismiyati Yuliatun

Psikolog Klinis

Tembok Masa Lalu itu Menghalangiku untuk Maju

Diperbarui: 21 Juli 2021   05:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

“yang lalu biarlah berlalu”…

          Kalimat tersebut menjadi penyemangat bagi seseorang untuk tetap fokus pada masa sekarang dan yang akan datang. Kehidupan memang tak lepas dari masa lalu, sebuah masa yang sudah dijalani dan terlewati. Masa yang bisa jadi memiliki andil atas keadaan sekarang, baik masa lalu itu menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Masing-masing orang memiliki cara tersendiri dalam menyikapi masa lalu, ada yang dapat mengambil pelajaran dari masa lalu yang tidak menyenangkan. Masa lalu membuatnya menjadi lebih kuat, lebih pemberani, bijaksana, lebih hati-hati atau banyak lagi sifat positif diperoleh karena belajar daripadanya. Namun sebagian orang mendapati masa lalunya “seakan sebagai sebuah tembok tebal, ataupun laksana benteng kokoh yang menghalanginya untuk maju”, seperti dikeluhkan oleh beberapa klien kepada penulis.

          Masalah yang dialami beberapa klien terjadi pada masa sekarang, antara lain; perasaan cemas saat sedang menyelesaikan skripsi, masalah di tempat kerja, adanya konflik dengan pasangan, hambatan dalam bersosialisasi, sampai masalah yang lebih ekstrim seperti menyakiti diri sendiri ataupun percobaan bunuh diri. Kebanyakan dari mereka menyampaikan bahwa: “ketika mereka dihadapkan pada situasi yang sulit pada saat sekarang, maka saat itu juga ingatan mereka terlempar pada pengalaman negatif masa lalu”, saat mereka masih kecil. Memori itu semakin membuat mereka berfikiran negatif, overthingking dan menyebabkan keluhan menjadi lebih berat.

          Tidak dapat dipungkiri, bahwa kejadian yang tidak menyenangkan pada masa lalu, waktu masih kecil dapat menjelma menjadi sebuah trauma yang akan berpengaruh pada kesehatan mental saat dewasa. Gangguan kesehatan mental tersebut seperti memiliki orientasi seksual yang menyimpang, gangguan emosional, dan depresi (Ramiro et al., 2010); juga berpengaruh pada kesehatan fisik serta perilaku kesehatan yang buruk seperti pola makan yang buruk, penggunaan obat terlarang dan kebiasaan merokok (Bellis et al., 2017).

Sebuah studi yang dilakukan oleh Center of Diseases and Control Prevention menemukan kurang lebih 40% orang dewasa menyatakan setidaknya mengalami dua atau lebih kekerasan pada masa kecil. Selanjutnya skor tinggi dikaitkan dengan hasil kesehatan mental negatif yang lebih besar seperti depresi, penyalahgunaan zat dan peningkatan bunuh diri. Selain itu hasil kesehatan fisik yang negatif seperti penyakit jantung, paru-paru dan penyakit hati (Felitti et al., 2019; Wolitzky-Taylor et al., 2017).

Bullying sebagai bentuk trauma

Salah satu bentuk kejadian masa lalu yang seringkali menjadikan trauma adalah perilaku bullying. Bullying atau biasa juga disebut perundungan merupakan perilaku tidak menyenangkan baik secara verbal, fisik ataupun sosial, terjadi baik secara nyata maupun di dunia maya. Perilaku tersebut dapat dilakukan secara perorangan atau kelompok yang menyebabkan seseorang menjadi tidak nyaman, sakit hati dan tertekan. Perundungan dapat menimpa siapapun dan dapat terjadi sewaktu-waktu, baik itu di sekolah, di dalam keluarga, di jalan, dalam pertemanan, ataupun di tempat kerja. Kadang kejadian tersebut dianggap sebagai hal yang sepele dan biasa, entah karena biasa dilakukan atau biasa juga dialami, atau bahkan tidak memahami akibatnya terhadap diri sendiri dan orang lain, baik akibat jangka pendek maupun jangka panjang. Padahal kejadian tersebut membuat anak menderita atau sakit secara emosional. 

“Kenapa dikatakan hal yang biasa dilakukan?”

Ada sebuah keluarga, dimana perilaku bullying itu menjadi menu yang terhidang sehari-hari. Perilaku bullying sering terjadi, perilaku yang menyakitkan antar anggota keluarga baik secara fisik maupun emosional, berupa ucapan maupun tindakan yang menyebabkan ketakutan, kesakitan atau penelantaran dan tekanan terhadap anak.

Pada kasus ini   orang tua memiliki temperamen keras, memiliki gangguan emosi, atau memiliki konflik rumah tangga. Mereka sering memarahi anak, memaki dan memberikan hukuman secara fisik serta dipermalukan yang terkadang juga dilakukan dimuka umum. Apapun yang dilakukan anak selalu dikomentari, seakan tidak memberikan ruang pada anak untuk merasa aman dan nyaman. Jadi sudah menjadi hal yang biasa karena sering terjadi sehari-hari.

“ Apa maksudnya biasa dialami?”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline