Ismit G.Abdullah
Demokrasi Mayoritas otoritarianisme dan demokrasi minoritas tiran, merupakan dua hal yang menjadi hieararki yang dapat memperhangus demokrasi. Sehingga hierarki inilah menjadi power dalam segala bentuk legitimasi kepentingan.
Salah satu diantarnya adalah legitimasi pada wilayah hukum, seolah-seolah legitimasi itu dianggap demokratis, sebab demokrasi yang dipersepsikan adalah kebebasan. Padahal justru kebabasan yang dipersepsikan itu lebih pada irasionalitas, itu artinya demokrasi mati atas legitimasi kekuasaan.
Selanjutnya, selain legitimasi pada wilayah hukum, ada juga politisasi bantuan sosial (bansos) yang marak terjadi menjelang pemilu 2024. Politiasi demikian merupakan salah satu keburukan yang tidak harus dilakukan oleh para pejabat publik, karena justru menghancurkan sistem demokrasi. Jangan hanya sekedar kepentingan yang tidak berasas pada nila-nilai demokrasi, hal-hal demikian dilakukan semata-mata untuk kampanye politik.
Belum lagi praktek-praktek Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN), dan keterlibatan ASN, TNI, POLRI, dan PJ Kepala Daerah, yang seharusnya menjaga netralitas jelang pemilu 2024. Bukan justru sebaliknya terlibat dalam pengamanan kepentingan yang tidak demokratis.
Olehnya itu, perlu ditegaskan bahwa Negara ini bukan milik perseorangan ataupun kelompok, tapi milik semua rakyat. Karena pemegang kekuasan tertinggi secara rasionalitas adalah rakyat, bukan kekuasaan milik sgelintir orang.
Maka sentrum alih kritik kita, lebih pada para politikus. Karena mereka-mereka ini adalah aktor perusak demokrasi. Seperti yang dikatakan oleh Juan Linz yg dapat kita temukan dalam karya kecilnya yg berjudul " the breakdown of democratic ragimes" buku yg terbit ditahu 1978 itu menyoroti peran politikus, menunjukan bagaimana perilaku mereka memperkuat atau mengancam demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H