Memaknai kehidupan sosial, bukan hanya lingkaran perkara manusia dengan manusia yang berkutat hanya pada kebutuhan sosial materi sebagai penunjang kualitas hidupnya. Jauh dari situ dan lebih dalam memaknai kehidupan sosial itu adalah bagaimana manusia dapat berkhidmat kepada manusia ciptaan tuhan lainnya, dan sadar ternyata kita bukan manusia satu – satunya-lah ciptaan tuhan satu-satunya lah yang paling baik, unggul serta mengerti tentang segala urusan, dan didampingi oleh fungsi berkhidmat dalam setiap pribadi manusia, yang dapat menghilangan rasa apatis, egois, munafik bahkan sampai penyakit megalomaniak (merasa diri paling hebat).
Rasa khidmat kepada sesama sudah seharusnya dimiliki para pemimpin kita, karena rasa khidmat ini akan menumbuhkan wilayah penghalusan sikap dan kepekaan rasa dalam diri, bukan seperti sikap yang mengumbar rencana agenda kebijakan yang sepertinya pro kerakyat, tapi apa yang terjadi ketika hasratnya terwujud?, rakyat bukan sekali lagi tapi ratusan kali lagi tertipu dengan konsumsi ‘produk’ politik elitenya tadi.
Sosok pemimpin yang ideal sebenarnya sudah lama dicontohkan oleh suri tauladan kita Rasulallah Saw dan juga para sahabatnya. Karena apa yang dihadapkan kota mekkah ribuan tahun yang lalu hampir sama dengan apa yang terjadi di Indonesia modern saat ini, salah satunya adalah bencana kemiskinan dan kelaparan.
Seperti kisah masa kepemimpinan beliau, masa pemboikotan dilakukan oleh kaum quraisy terhadap bani hasyim dan muthalib dalam hubungan dagang (ekonomi), mempelajari, bagaimana sikap pertama yang dilakukan rasulallah dalam menghadapi kelaparan yang melanda umatnya? kepekaan rasalah yang beliau miliki, dengan menarik diri dari sikap teoritis dalam mencari solusi, Beliau justru ikut menceburkan diri -bukan semata karena doktrin al’quran- tapi suatu tindakan idealistik sarat dengan nilai-nilai sosial yang telah terintegarasi semangat dan etika al’quran.
Rasulallah dengan ikhlas ikut merasakan rasanya lapar tersebut dengan cara mengganjal perutnya dengan batu serta mensedekahkan semua hartanya hingga tidak bersisa dirumahnya, semua itu menggambarkan betapa khidmat dirinya terhadap manusia membuatnya dirinya sendiri melupakan kualitas hidup sebagai pemimpin, karena sejatinya beliau berhasil memaknai, pemimpin adalah pelayan, bukan raja.
Tentu saja ia hidup alakadarnya sebagai seorang pelayan jauh seperti layaknya seorang raja. Logikanya pun bebanding terbalik jika dibenturkan dengan realita saat itu, dengan kehidupan para raja romawi atau persi yang selalu hidup bermegah-megahan.
Seperti halnya dalam konsep kepemilikan, meskipun ia seorang pemimpin, segala bentuk materi yang ia miliki harus lebih kecil dari rakyatnya. Rakyat punya satu.., rasulallah punya nol, rakyat punya dua.., rasulallah masih tetap saja nol. Sungguh, aktualisasi sifat khidmat yang mungkin dianggap “mbelelo” bagi kaum materialis dimana dunia dan syahwat sebagai tuhan-nya
Tipe kepemimpinan-nya (rasulallah) adalah puncak disorientasi seorang pemimpin kepada kehidupan materi. Tapi, justru keabsensiannya terhadap materi itulah Rasulallah telah membangun peradaban masyarakat ideal yang pernah ada di muka bumi ini dengan berlandaskan al’quran.
Pelajarannya karena memang khidmat pemimpin terhadap rakyat adalah tanggung jawab dirinya terhadap tuhan, pernyataan tanggung jawab ini seharusnya benar-benar dieksekusi dalam bentuk mendistribusikan setengah kedaulatan dirinya kepada rakyat banyak mutlak dan absolute, menjadi pelayan yang bisa melihat wajah-wajah tuhan di seluruh kehidupan rakyatnya.
Bukan khidmat pemimpin yang bertanggung jawab terhadap “tuan” yang menuruti hawa nafsunya. untuk turut menyumbangkan bentuk kekacauan yang terjadi dalam masyarakat bersama dengan “tuan” nya tadi.
Salah satunya adalah sikap masa bodoh (apatis) sampai melegalkan segala bentuk nilai eksplorasi sumber daya alam dan sumberdaya manusia, akumulasi kekayaan perseorangan, sampai kepada aktifitas ekspansi dalam bentuk kegiatan ekonomi.
Inilah yang perlu diperhatikan berapa banyak rakyat yang tersakiti dengan adanya kegiatan ekonomi kapitalis alias pemboikotan era ekonomi modern. Semua dilakukannya demi kebahagiaan materi, status dan strata social produk manusia, semuanya akibat kamuflase keduniawian yang dapat mengubur rasa kemanusiaan.
Kembalikan lagi pada agama, islam tidak melarang seseorang untuk memiliki materi, tetapi mengharamkan bila pemburuan materi tersebut dilakukan dengan cara mengkhianati nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran dan keadilan, bahkan jika terlanjur mengubur rasa khidmat tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H