Lihat ke Halaman Asli

Problematika Terhadap Penguasaan Guru Pada Materi Sosiologi

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering


Seperti yang kita ketahui para guru di kelas terutama guru sosiologi dalam menyampaikan materi pelajaran sering terkesan di hadapan siswa tidak begitu berpengalaman dalam artian materi yang disampaikan hanya berpedoman pada materi yang ada pada buku guru dan siswa yang telah disediakan oleh sekolah tetapai tidak mencari refrensi lain seperti refrensi dari internet. Berdasarkan hal itu maka secara otomatis dapat dikatakan bahwa penguasaan materi pelajaran oleh guru kurang memberikan respon positif bahkan dapat berupa respon negatif yang dapat membuat siswa kurang puas dalam menerima pelajaran yang disampaikan guru ketika proses pembelajaran berlangsung didalam kelas.

Salah satu bentuk respon negatif yang sering dilontarkan dari siswa itu adalah respon yang berbentuk persepsi, tentunya persepsi yang bersifat negatif. Dari sekian banyak siswa yang mengeluarkan persepsinya hanya dapat diambil intinya saja, yaitu pertama; cara menyampaikan materi oleh guru itu sangat membosankan karena dari segi penyampaian materinya bertele-tele dalam artian tidak langsung tertuju pada intinya, kedua; dalam menerima materi pelajaran yang disampaikan membuat mengantuk sehingga untuk menguasai materi pelajaran sangat dibutuhkan konsenterasi yang sangat tinggi, disamping itu juga hendaknya setiap siswa dibekali IQ yang tinggi.

Dari berbagai persepsi yang diungkapkan oleh para siswa diatas maka secara otomatis dapat dikatakan bahwa apabila siswa diperintahkan untuk menghafal teori-teori yang berkaitan dengan pelajaran sosiologi tidak menutup kemungkinan bahwa siswa tidak akan mampu secara maksimal untuk menghafal teori-teori, apalagi siswa dituntut untuk memahami dan menerapkan teori-teori terkait.

Disamping itu juga terkait dengan materi yang disampaikan guru tidak begitu luas maka dari segi penyajian teori-teori tersebut kurang tepat sasaran dan kurang sesuai dengan situasi sosial lingkungan sekitarnya dan mereka harus berpikir dua kali untuk mengasosiasikan teori dengan kenyataan hidupnya dan selanjutnya mencerna teori sajian guru. Keterlambatan dalam menginternalisasi materi pun terjadi. Konsep siswa baru pada tahap asosiasi, tetapi waktu pelajarannya keburu selesai. Siswa enggan melanjutkan hal itu lagi karena sudah terjaring limit waktu dan harus beralih ke mata pelajaran yang lain.

Ketika persepsi negatif merasuki pikiran siswa, minat dan motivasi belajarnya merosot. Interaksi belajar dalam kelas cenderung monoton. Guru asyik berceramah, sedangkan para siswa mengangguk-angguk pertanda guru harus segera mengakhiri pembelajaran itu. Ada yang melakukan aktivitas yang lain, seperti mengganggu teman, mendesah dan merintih. Ketika diadakan evaluasi ringan, banyak yang menunjukkan ketidak mengertiannya, lalu mereduksi bahwa mata pelajaran sosial seperti sosiologi sulit dan menjenuhkan.

Hal lain yang memperhebat persepsi negatif siswa adalah kurangnya pengetahuan guru akan situasi-situasi sosial actual, yang tengah berlangsung dalam masyarakat. Guru kurang mampu menghubungkan relevansi pelajaran dengan kenyataan praktis dan keterkaitannya dengan ilmu-ilmu lain dalam mengeksplorasi bahan pembelajaran. Selain itu, situasi dan kondisi belajar yang tidak nyaman, bising, panas dan kurang variatif juga akan mengurangi gairah belajar siswa.

Ada pun masalah-masalah yang melatarbelakangi keengganan peserta didik untuk mempelajari Sosiologi sebagai berikut :

1. Masalah teknik pembelajaran yang tidak menumbuhkan motivasi siswa.
Seharusnya, proses pembelajaran itu dapat memacu keingintahuan siswa untuk membedah masalah-masalah seputar lingkungan sosialnya sekaligus dapat membentuk opini pribadi terhadap masalah-masalah tersebut. Di sini, mereka bukan lagi dianggap sebagai tabula rasa, kertas kosong atau pribadi yang menerima secara pasif sajian yang tidak tepat sasaran empunya guru, pribadi yang tidak mengetahui apa-apa, melainkan pribadi yang telah berinteraksi dengan lingkungan dan berhak untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri.

2. Eksistensi guru bukan sebagai fasilitator yang membelajarkan siswa, melainkan pribadi yang mengajar atau menggurui siswa.
Kalau hal ini menjadi prioritas dalam pembelajaran maka kesan negatif yang bisa mematikan kreativitas siswa pun timbul, bahwa guru itu sumber ilmu tetapi siswa gudangnya ilmu. Siswa adalah bank dan guru adalah nasabahnya. Guru menabung ilmu dalam bank empunya siswa, sedangkan siswa tidak memiliki ilmu itu. Bukankah kehadiran seorang guru ibarat seorang bidan yang membantu mengeluarkan bayi dari perut seorang ibunya?. Peran aktif siswa dalam mengeksplorasi dan mengkonstruksi pengetahuannya sangat diutamakan. Guru cuma memfasilitasi siswa guna mengikuti pola-pola kognitif dan memperlihatkan konsep pengetahuannya itu dapat berlaku benar untuk setiap keadaan atau sudah baku menurut referensi ilmu dan kebenaran epistemologis tertentu. Jadi, masalahnya terletak pada proses pembelajaran yang masih menganggap siswa sebagai obyek yang tidak mengetahui sesuatu. Siswa membentuk konsep atau skema melalui proses asimilasi dan akomodasi, sedangkan guru menunjukkan kebenaran konsep atau skema pengetahuan siswa itu dengan hukum, teori dan kebenaran yang berlaku umum. Jika yang diperoleh siswa adalah ketidaksesuaian, maka guru dapat menunjukkan kesalahan konsep itu dan memperlihatkan yang benar, atau membantu mencari alasan, bukti dan referensi ilmiah untuk mengkonstruksi pengetahuan baru. Yang diharapkan dari guru adalah menguasai ketrampilan professional dan unjuk kerjanya. Membuat skenario pembelajaran yang mengesankan dan memacu keingintahuan peserta didik. Melatih kemampuan berpikir dan berinteraksi siswa secara benar sehingga siswa terpesona lalu berkesimpulan saya berpikir, maka saya ada, saya mengalaminya, maka saya bisa.

3. Penyampaian pesan pembelajaran dengan media yang kurang interaktif dan atraktif.

Yang diharapkan dari siswa adalah merasa at home, menyenangi pelajaran, merasa membutuhkan ilmu itu serta dapat melaksanakan pesan pembelajaran.. Siswa dapat menterjemahkan isi pesan itu ke dalam ranah - ranah kognitif karena dari situlah sumber kompetensi baginya dan haluan evaluasi bagi guru

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline