SAJAK HITAM PUTIH
Pada gerak waktu yang menghapus ribuan peristiwa hidup.
Tersimpan riwayat orang-orang yang telah hilang akal untuk saling merawat.
Di ruang kosong, dupa dibakar dan kemenyan sedang ditabur.
Selasar sosial makin parah dan tak ada harapan.
Ada tubuh yg terpenggal dan masih beraroma kopi.
Ada lagi yang kaku tapi ia tak mati-mati.
Hitam dan putih terasa sulit dibedakan.
Aku membakar wakaf-wakaf pelipur logika.
Para penguasa semakin tak tahu diri dan tak tahu etika.
Sumpah serapa para pejabat menjelma jadi kutukan untuk rakyat jelata.
Segalanya tampak menipu dan kata-kata seperti sihir yang membunuh siapa saja. Sungguh sebuah harmonisasi yang begitu sempurna.
Pada kehidupan yang menakutkan tak ada lagi cahaya keyakinan.
Ketidakadilan bagai prosesi kematian yang digelar setiap saat.
Kota - kota menjadi ramai dalam gelap, sebab di ruang paripurna, pejabat negara sedang tertidur pulas.
Mereka telah lupa pada suara yang mereka hitung, lupa pada wajah-wajah yang tergelak ditrotoar jalan kota.
Saat mentari datang membangunkan mereka dari mimpi, mereka kembali bangun dengan wajah baru.
Rayuan serta godaan mulai diobral sana sini.
Rakyat kembali menjadi buruan para pembunuh kepentingan pribadi dan kelompok.
Tahukah kau! bahwa rakyat tidak butuh sabda-sabda di atas panggung kolosal. Sebab rakyat sudah bosan mendengar kata-kata yang tak sakral.
Rakyat butuh keadalian bukan nyanyian. Rakyat butuh kesejahteraan bukan daftar perbudakan.
Bula, 05 April 2020
Catatan|Seorang pegiat kopi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H