Lihat ke Halaman Asli

Save KPK dan Polri

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Juni 2010 para agen, subagen, loper, dan pengecer media cetak harian, mingguan, dua mingguan dan bulanan heboh. Majalah Tempo yang seharusnya terbit hari itu tidak sampai ke tangan mereka. Selanjutnya, kehebohan menjalar ke pembeli, baik yang berlangganan maupun pembeli eceran nan rutin.

"Majalah Temponya mana?" "Habis Pak." "Masih pagi kok habis?" "Kabarnya diborong orang rambut cepak, Pak." "Mang ada berita apa?" Beritanya rekening gendut polisi." "Yah, penasaran saya. Tolong cariin, ya." "Dicari ke kantor polisi, Pak" Ga' ah! Takut." "Saya beli tiga kali harga bandrol." Sambil menggeleng, "Eh, Pak. Satu milyar itu berapa? Katanya, rekening gendutnya sampai puluhan milyar satu orang." "Nolnya sembilan." "Sejutanya berapa?" "1000 juta." "Hah! satu milyar seribu juta? Ini puluhan milyar. Ih! Gila bener kayanya."

Seribu tanya berkecamuk di kepala pembaca. Benarkah? Selanjutnya kehebohan di atas dibahas di media cetak dan televisi. Dengan diberitakan di televisi yang siarannya menjangkau pelosok negeri, beritanya menjadi berita nasional. Rakyat menjadi tahu dan penasaran mengikutinya. Apalagi, beritanya menjadi tambah seru karena kantor majalah Tempo mendapat kiriman bom molotov dan Tama Satrya Langkun, aktivis Indonesia Corroption Watch yang menelusuri rekening gendut mendapat serangan benda tajam oleh orang tak dikenal.

Siapa saja pemilik rekening gendut itu? Sekitar 21 perwira polisi. Salah satunya Budi Gunawan. Diduga ia melalui rekening anaknya mendapat aliran uang 1.5 dari perusahaan properti PT Malindo Lintas Pratama pada bulan November 2006. Selain itu juga menampung aliran 10 milyar dari PT Sumber Jaya Indah. Totalnya diduga 54 milyar, mungkin tidak hanya dari dua perusahaan di atas. Untuk meredam rumor tersebut, BG diperiksa di Bareskrim polri. Dan pada tanggal 20 Oktober 2010 Bareskrim mengeluarkan surat untuk meng-clear-kan rekening BG. Isinya, lalu lintas keuangan BG dianggap wajar. Pada episode ini rakyat Indonesia tidak memercayainya, tetapi dalam diam. Masak sih wajar? Kalau wajar, mengapa PPATK menandainya? Mengapa KPK tidak menindaklanjuti? Beribu tanya menggelayuti pikiran mereka.

Pada posisi ini, seharusnya Presiden Jokowi sehati dengan rakyat. Inilah kesalahan beliau yang sangat vatal jelang 100 hari masa pemerintahannya. Bapak Presiden diduga lebih berpihak kepada partai pengusungnya. Tanpa mempertimbangkan rekam jejak BG, Jokowi menetapkan BG jadi cakapolri. Dengan cepat KPK bertindak, BG ditetapkan sebagai tersangka tindak pidana korupsi. Rakyat merespon KPK dengan nafas lega. Harapan rakyat, Presiden Jokowi menarik kembali surat pencalonan BG yang sudah terlanjur dikirim ke DPR. Ternyata, Jokowi membiarkan proses pencalonan berjalan. DPR melakukan fit and proper test terhadap BG. Dan aneh bin ajaib, BG memenuhi syarat dan diloloskan sebagai kapolri oleh DPR. Baik Presiden dan DPR berlandaskan pada surat yang dikeluarkan oleh bareskrim yang sudah disetujui oleh kompolnas bahwa BG bersih.

Rakyat pun resah. Masak seorang tersangka bakal menjadi kapolri? Para penggiat anti korupsi turun menyuarakan kegalauan tersebut. Namun, polri menambah kegalauan lagi dengan menetapkan BW, salah satu pemimpin KPK jadi tersangka, dan menangkapnya seperti tersangka teroris, persis sama penampilannya: berbaju koko, bersarung, dan tangan diborgol. Untuk menguatkan alibi polri menangkap BW, saksi palsu untuk kliennya Pak BW di MK, semasa beliau menjadi advokat dihadirkan di ILC-nya Karni Ilyas. Dengan cengar-cengir saksi palsu itu menjawab beberapa pertanyaan. Intinya, bahwa ia adalah saksi palsu yang diarahkan BW untuk memenangkan Ujang dkk. BW-lah yang memberikan simulasi bagaimana ia dkk. harus menjawab pertanyaan saat persidangan di MK berlangsung. Sayang sekali, ia tidak menjawab pertanyaan, apakah untuk tampil di ILC, ia juga diarahkan? Yang ia jawab dengan tegas adalah bahwa bapaknya bersaudara kandung dengan Ujang. Dan, sekarang ia ingin mengungkapkan yang sebenarnya. Namun, dari berita harian Kompas, salah satu saksi lain, Mutiara, mengatakan bahwa ia tidak diarahkan oleh BW. Apa yang dia lihat, dia dengar, dia alami dan itulah yang diungkapkan di persidangan MK. Mutiara telah disidangkan dan mendapat hukum pidana tiga bulan. Seterusnya tidak hanya BW yang diadukan ke polisi, Abraham Samad, Pandu, Zulkarnaen juga diadukan individu dan kelompok masyarakat ke polisi karena kesalahan-kesalahan mereka di masa lampau. Adakah yang mengarahkan? Mengapa serentak diadukan? Siapa yang berada di baliknya? Permainan apalagi ini? Sungguh pertanyaan-pertanyaan yang menggoda rakyat. Hlo! kalau semua pemimpin KPK dilaporkan dan kemudian mereka jadi tersangka, tentu mereka juga harus mengundurkan diri seperti halnya BW. Lalu siapa yang menyidik BG?
Entahlah.

Benar juga apa yang dikatakan Titik Puspa dalam lagunya, /Dunia ini penuh sandiwara/ ceritanya selalu berubah/ Kisah Mahabrata atau tragedi dari Yunani/ mengapa kita bersandiwara/mengapa kita bersandiwara/

Namun, bukankah kisah peperangan Mahabrata dan kisah Hamlet dari Yunani tragedi semua? Haruskah institusi KPK dan POLRI dihancurkan dulu untuk membersihkan keduanya? Seperti layaknya kurawa dan pasukannya yang dibinasakan untuk penyucian Hastinapura. Tentu saja tidak demikian. Bukankah masa berakhirnya kepemimpinan Abraham Samad dkk. sampai akhir 2015? Alangkah arifnya jika menunggu mereka turun dulu baru diadukan. Biarkan pemimpin KPK yang tersisa membuktikan dugaan tersangka pada BG. Dan, biarkan pula polisi membuktikan apakah BW bersalah atau tidak. Jangan biarkan bangsa ini mengikuti genderang yang salah pukul.

Khusus buat Bapak Presiden Jokowi, Janganlah menjadikan para tersangka jadi pemimpin karena rakyat antipati terhadap pemimpin-pemimpin yang bermasalah. Saya yakin, salah satu kunci kemenangan bapak dari Prabowo di pilpres adalah karena rakyat mencurigai Prabowo terlibat pada kasus Mei 1998. Ketika bapak sudah jadi presiden, berpihaklah pada rakyat, bukan pada partai pengusung. Jagalah amanah rakyat ini. Jangan sampai Bapak dilengserkan. Saya yakin rakyat masih memercayai Bapak. Lagi pula, goro-goro saat pelengseran akan menghancurkan bangsa ini. Oleh karena itu, jangan sampai terjadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline