“I am not a Terrorist”
Suaranya nyaring tapi empuk. Meneriakkan sepenggal kalimat itu hampir tiga kali. Matanya yang belok, sesekali memejam, terbuka, menatap ke depan, mengiringi gerakan tangannya yang mengepal atau menunjuk ke dada dan ulu hatinya. Disusul kalimat-kalimat lain yang meluncur deras, tajam, dan tegas. Tanpa harus berhenti untuk mengumpulkan sejumput ingatan atau membaca kata-kata pada lembar kertas. Tapi, ia melakukannya dengan sepenuh ingatan. Menghipnotis saya, Kristin, dan teman-temannya yang duduk tak beraturan mengelilinginya.
Pembacaan puisi adalah bagian akhir dari Leadership Class yang saya berkesempatan mengikutinya sore itu, 21 Januari 2011. Bersama sepuluhan anak SMA di Champbell School Hawaii, kelas kecil itu difasilitasi oleh Kristin Hayden dari OneWorld Now yang berpusat di Seattle USA. Sekilas jika saya memperhatikan wajah-wajah anak-anak itu, saya seperti melihat puluhan remaja Indonesia pada umumnya. Beberapa berkulit bersih dan bermata sipit, sementara yang lain ada yang berkulit coklat dan berhidung mancung. Mungkin hanya si pembaca puisi yang aku lihat sedikit berbeda. Ia memiliki wajah khas timur tengah: mata lebar dan hidung lancip.
Tidak hanya pembacaan puisi oleh gadis blasteran itu, saya juga terpukau oleh Kristin yang energik dan penuh semangat, mengajak teman-teman remajanya itu untuk “argue for their limitations”. Pada mulanya, Kristin mengajak kami mengenali siapa diri kami dan karakter serta potensi yang kami miliki. Bahkan berbagi kenangan buruk dan sedih di masa lalu. Kemudian, kami membayangkan satu impian besar yang ingin kami capai. Sebelum kami menggambar pada sebuah kertas plano, kami diminta untuk mencari pasangan bercerita.
Saya berpasangan dengan Stacy. Kami menggambarkan impian masa depan kami. Ada banyak spidol dan crayon warna-warni yang disediakan untuk menggambarkan mimpi besar kami itu. Saya benar-benar menikmati. Hanyut dalam pengkhayatan masa depan saya. Punya banyak novel, mobil, bisa naik haji, dan ada lembaga belajar alam yang berdiri dengan cantiknya bersebelahan dengan rumah tinggal saya. Hijau dan semilir, seperti terpaan angin di Manoa, dilindungi oleh rindang pohon-pohon. Saya juga menggambar keluarga saya, yang akan juga menjadi aktor dalam cerita impian masa depan saya.
Lalu tiba saatnya untuk saling berbagi cerita dengan Stacy di kelompok kecil, sebelum kemudian kami kembali ke kelompok besar. Kristin berbagi cerita tentang motivasi kerjanya untuk membangun multicultural understanding di antara remaja sekolah di US dan memberi kesempatan pada remaja-remaja itu untuk mengenal dan memahami budaya lain, terutama budaya Islam dengan mempelajari bahasanya dan berkunjung ke negara-negaranya. Karena Kristin remaja merasa mendapat banyak manfaat dan pengalaman sangat berharga dengan melanglang ke negeri jauh, ia pun ingin remaja-remaja yang lain mendapatkan pengalaman yang sama. Ia mengatakan, “I say: argue for your limitation. Then, connect them to what happens in the world. It can be build by five steps which are personal development, social identity, intercultural communication, global vision, and social anthroponeurship.”
Waktu beranjak sore, sebelum teman-teman SMA itu membubarkan diri, kami sempat berfoto bersama dan berjabat tangan. Sambil melangkah keluar kelas, mengikuti mentor saya, Jill Takasaki, saya seperti menemukan kekuatan baru. Kekuatan untuk 'fight' melawan keterbatasan dan halangan-halangan.