Lihat ke Halaman Asli

Suasana Iba di IRDB

Diperbarui: 26 Juni 2015   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Yang saya lihat, banyak yang berpakaian putih, berjas mantap ! bersibuk-sibuk ria. Di samping bangsal-bangsal, begitu banyak orang-orang yang mulai membuat petak-petak seolah sedang rekreasi (keluarga pasien). Entah ini seperti suasana dan pemandangan yang menjijikkan atau malah memprihatinkan? Untuk seorang pemula seperti kami, apalah wewenang yang kami pegang selain menjadi penonton. Tiba disebuah ruangan IRDB (Instalasi Rawat Darurat Bedah), saya mendengar suara begitu menggelegar seperti petir, nampaknya sangat marah. sebut saja dr.M seorang yang mempunyai kuasa disitu.Yah dia sedang memarahi keluarga pasien yang datang berbondong-bondong ke Rumah Sakit. Mereka memang banyak, dan mereka di usir secara blak-blakkan, terang-terangan diantara kelompok-kelompok yang lain, termasuk saya yang kebetulan berada disitu. Saya hanya terpaku, menjadi penonton sebuah kejadian yang sangat menyedihkan itu. "bagaimana kalau itu keluarga saya?" Masih pantaskah kami yang miskin datang ke Rumah Sakit itu lagi? Kami tak punya cukup uang. Anak-anak kami banyak dan tidak mungkin harus kami tinggalkan di rumah sendirian, sementara bapak sedang sekarat di Bangsal. Ini fenomena yang sangat tabuh untuk saya sendiri. Apakah perlakuan seperti itu pantas untuk mereka yang miskin? Rumah sakit hanya untuk mereka yang mampu yah? "Kami tak punya uang...keluarga kami belum di berikan tindakan pertolongan dek, karena kami belum melengkapi masalah administrasi" OhmyGod, lingkungan seperti ini menyesakkan dada. Alveoli rasanya mengembang dan tak mau mengempis. Semakin sesak. Ingin cepat-cepat berlalu dari situasi yang memancing lakrimalis untuk bekerja. Dan saya masih terus terpaku,menahan perasaan iba, tegar seolah tak terjadi apa-apa. Entah berapa banyak pasien miskin lagi yang akan seperti itu.. Siapa yang harus disalahkan? Mungkin saat ini, saya tak akan menemukan jawabannya...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline