Lihat ke Halaman Asli

Mereka Datang, Melihat dan Memberi Kesaksian

Diperbarui: 17 Juni 2015   17:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dua pekan sejak awal kedatanganku di Iran, pada pertengahan tahun 2007, saya diundang sebagai peserta dalam Konferensi 6 BKPPI se-Timur Tengah yang diselenggarakan di Aula Universitas Imam Khomeini, Qom. Konferensi tersebut menghadirkan Prof. Dr. Amin Rais, mantan ketua umum PP Muhammadiyah sebagai pembawa orasi ilmiah pertama sekaligus membuka acara. Hadir pula Kuasa Usaha ad Interm (KUAI) KBRI Tehran, Atase Pertahanan dan Fungsi Pensosbud, Staf Menhamkam, Staff Mendikbud, sejumlah  Rektor dan Dosen Universitas di Indonesia, dan juga Delegasi PPMI Mesir, PPI Pakistan, PPI Yaman, PPMI Jordania, PPI India, PPI Suriah, PPI Maroko, dan HPI Iran selaku tuan rumah. Tema yang diusung dalam acara tersebut, “Membangun Kemandirian Bangsa, Menuju Indonesia yang berkeadilan.”

Amin Rais yang juga mantan ketua umum MPR-RI dalam penyampaiannya menegaskan, Sunni dan Syiah adalah mazhab-mazhab yang legitimate dan sah dalam Islam. Beliau bahkan memberikan pengakuan akan tradisi intelektual dan berpikir di Iran yang tidak pernah berhenti. Ketika memberikan perbandingan antara ulama Iran dengan ulama Indonesia, ia berkata, “Tanpa mengurangi rasa hormat saya kepada ulama Indonesia memang tradisi intelektual dan berfikir di Iran itu tidak pernah berhenti. Sementara ulama kita sudah terjebak kepada fiqih sehingga Islam kadang-kadang menjadi fiqih, Islam itu bukan pemikiran ijtihadi yang mencari terobosan, mencari pemecahan itu. Jadi saya lihat bagaimana Ali Syariati menenggelamkan marxisme di Iran ini karena ia menunjukkan resep-resep keIslaman secara kreatif sehingga intelektual Iran tidak lagi tertarik kepada marxisme tersebut. Jadi anda jangan takut dituduh syiah dan lain-lain; karena menurut saya Al Azhar juga dilahirkan oleh dinasti Fatimiah yang juga Syiah.”

Sejumlah Rektor dan guru besar Universitas Islam di Indonesia diantaranya Pof.DR.HM Ridwan Nasir.MA [Rektor IAIN Sunan Ampel, Surabaya], Prof. DR. Abdul Jamil [Rektor  IAIN Wali Songo, Semarang] dan Prof. DR. Fuad Amsyari.Phd [Guru Besar Universitas Airlangga/ UNAIR, Surabaya] yang menyempatkan hadir dalam acara tersebut turut mengaminkan apa yang disampaikan Amin Rais mengenai Iran dan Syiah. Dan juga tentu termasuk tokoh-tokoh mahasiswa yang tergabung dalam organisasi pelajar Indonesia di Mesir, Yordania, Pakistan, Maroko, India, Yaman dan Suriah.

Pernyataan-pernyataan para tokoh Islam Indonesia tersebut yang menyatakan Syiah adalah salah satu dari mazhab Islam yang legitimate tentu membuatku semakin memantapkan diri bahwa belajar di Iran adalah bukan pilihan yang salah. Bahkan kesemua cendekiawan Islam tersebut menunjukkan kebanggaannya kepada para pelajar Indonesia di Iran dan memesankan untuk belajar sebaik-baiknya dan kelak turut memberikan sumbangsih kerja dan pemikiran untuk kemajuan Indonesia. Tidak ada pernyataan yang penuh kecurigaan dan syak wasangka bahwa pelajar Indonesia di Iran sepulangnya kelak hanya akan membawa benih-benih perpercahan dan kerusakan yang mereka tunjukkan.

Sangat berbeda dengan sejumlah orang yang mengklaim diri mereka sebagai ulama ataupun pemikir Islam di Indonesia yang bahkan berkunjung ke Iran saja tidak pernah tetapi mencecoki rakyat Indonesia dengan pemahaman-pemahaman yang keliru mengenai Iran dan Syiah. Mereka bahkan pernah mengatakan mahasiswa Indonesia di Iran ada 12 ribu orang, jauh lebih besar dari mahasiswa Indonesia di Mesir, padahal saya dan teman-teman di Iran 150 orang saja tidak sampai. Apa itu maksudnya kalau bukan hendak memprovokasi ummat?.

Dua tahun setelahnya, yaitu tahun 2009, kampus dan asramaku di Qom mendapat kunjungan dari Prof. Dr. Quraish Shihab, mantan Menteri Agama-RI dan mantan ketua umum MUI Pusat. Beliau blusukan melihat langsung kelayakan asrama dan fasilitas kampus yang diperuntukkan untuk mahasiswa asing. Ketika memasuki kamar asrama seorang teman dan menemukan di rak buku ada deretan Tafsir al Misbah yang ditulisnya, sambil merendah beliau mengatakan, “Wah, kalian sampai repot-repot membawanya kemari. Bukannya kitab tafsir ulama Iran jauh lebih kaya dengan ilmu?”. Beliaupun mengakui, salah satu kitab rujukannya dalam menuntaskan Tafsir al-Misbah, adalah Tafsir al-Mizan karya ulama Mufassir Iran, Allamah Thabathabai. “Jangan terjebak pada perbedaan mazhab dalam menuntut ilmu.” Pesannya.

Beberapa bulan setelahnya di tahun yang sama, Muhammad Maftuh Basyuni, SH, menteri agama Kabinet Indonesia Bersatu [2004-2009] yang meraih gelar sarjananya di Universitas Islam Madinah juga melakukan kunjungan yang sama. Kedua tokoh Islam dan pejabat Negara tersebut memberikan penegasan yang sama mengenai keabsahan Syiah sebagai mazhab yang resmi dan diakui. Tahun 2011, Dr. KH. Umar Shihab, ketua MUI-Pusat, di depan para pelajar Indonesia di Iran memberikan pernyataan bahwa MUI Pusat tidak pernah mengeluarkan fatwa yang menyebutkan Syiah sesat apalagi keluar dari Islam. Syiah hanyalah sebuah mazhab yang memiliki sejumlah pandangan yang berbeda dengan mazhab Ahlusunnah yang dianut mayoritas rakyat Indonesia, namun perbedaan tersebut masih tetap dalam koridor Islam yang dapat ditoleransi. “Perbedaan ada, tapi bukan hal prinsipil yang harus dipertentangkan, melainkan harus menjadi tantangan untuk kita jadikan kekuatan untuk bisa bersatu.” Ungkapnya.

Saat itu bersama rombongan KH. Umar Shihab juga ikut serta Prof Dr HM Galib MA, sekretaris MUI Sul-Sel dan guru besar UIN Alauddin Makassar. Dalam pernyataan lainnya, KH. Umar Shihab mengungkapkan, “Dalam kunjungan ini, kami tercengang melihat khazanah kepustakaan Islam yang begitu lengkap di Teheran, Masyhad dan Qom, dan sangat menyesal baru mengunjunginya di usia saya yang 70 tahun ini.”

Pada tahun 2012, giliran guru-guru besar UIN Alauddin Makassar yang mengunjungi Iran. Sayang, kunjungan mereka bertepatan dengan jadwal ujian di kampusku. Kesibukan akademik membuatku tidak berkesempatan untuk bertemu dengan mereka. Ada sekitar 12 tamu yang datang, terdiri dari beberapa guru besar dan doktor yang mewakili MUI Sulsel dan utusan dari Komisi Fatwa MUI Pusat, Iranian Courner dan dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Diantara mereka, terdapat Prof. DR. Hamdan Juhannis, MA, guru besar Sosiologi UIN Alauddin Makassar. Beliau secara berkala dalam tiga seri, menuliskan pengalamannya selama kunjungannya di Iran dan dimuat di Harian Fajar. Diantaranya dia menulis, “…segera setelah tiba di hotel dan setelah makan. Saya mengambil sajadah untuk shalat dari lemari kecil hotel, lalu mata saya tertuju pada kitab suci al-Qur’an di raknya, saya mengambil dan memeriksa lembar demi lembarnya, dan betul kata Prof. Umar Shihab, bahwa al-Qur’an kita sama.”

Prof. Dr. Kamaruddin Amin yang juga turut dalam rombongan ikut menuliskan opininya mengenai Iran dan Syiah di harian yang sama. Beliau menyerukan persatuan umat Islam dalam opininya tersebut, “Ketika Sunni dan Syiah mengakui Tuhan yang sama, Nabi yang sama, Al Quran yang sama, kiblat yang sama, syahadat yang sama mengapa perbedaan harus dibesar-besarkan?” tulisnya.  (Fajar, 28/2/2012).

Said Abd. Shamad, Lc, yang oleh kalangannya sendiri menyebutnya Kyai Haji, geram dengan adanya kunjungan ke Iran yang melibatkan guru-guru besar UIN Alauddin dan tokoh-tokoh Islam yang berpengaruh tersebut. Dia menulis tanggapan di Harian Fajar dengan judul, “Jangan [mau] Diperdaya Ayatullah Iran.” Dalam tulisannya, dia dengan enteng menyebut, guru-guru besar UIN Alauddin Makassar telah dengan mudah dikelabui oleh Ayatullah Syiah di Iran. Dibagian akhir tulisannya, dia menulis, “Kenapa harus jauh-jauh pergi mendengar tentang Syiah, sedang LPPI sudah sekian lama mau menghadap UIN Alauddin untuk menjelaskan tentang hal itu namun ditolak secara langsung atau tidak langsung.” Jadi maksudnya, untuk tahu tentang Syiah, tidak usah sampai repot-repot ke Iran segala, karena dia yang punya lembaga penelitian jauh lebih tahu tentang Syiah dari pada ulama-ulama Syiah sendiri yang berada di Iran. Untung, tidak ada guru besar yang mau percaya.

Pada bulan Februari tahun 2014 ini, sejumlah tokoh Sunni mengunjungi kota Qom, Iran. Tokoh Sunni yang saya maksud diantaranya KH. Luthfi Hakim, pengasuh Pondok Pesantren Ziyadatul Mubtadi-ien Jakarta, K.H Masyhari Baidhawi, MA, Pimpinan pondok pesantren Darussalam Indramayu, Muhammad Aziz, MA, dosen UIN Jakarta, Sayyid Ali al Hamid dan Sayyid Idrus al Habsyi, tokoh pemuda dari Front Pembela Islam [FPI] Jakarta. Di salah satu agendanya yaitu mengunjungi Uswah Press, Penerbit dan Percetakan Al-Qur’an terbesar di Iran yang terletak di wilayah perbatasan Qom-Tehran, dan saya yang diamanahkan untuk mendampingi mereka. Mereka menyaksikan dengan mata kepala sendiri, bahwa percetakan Al-Qur’an di Iran menghasilkan cetakan Al-Qur’an yang sama persis dengan yang dibaca mayoritas kaum muslimin lainnya. Bahkan cetakan Iran diminati sejumlah Negara Timur Tengah lainnya. Tentu ini berbanding terbalik dengan informasi yang beredar di Indonesia oleh sejumlah oknum yang menyebutkan, Syiah memiliki Al-Qur’an yang berbeda, sehingga layak untuk disebut sesat dan keluar dari barisan Islam.

Terakhir, di bulan September baru-baru ini, penegasan bahwa Al-Qur’an Sunni dan Syah itu sama kembali dilontarkan oleh Direktur Pascasarjana Insitut PTIQ Jakarta, Prof. Dr. M. Darwis Hude, MSi yang mengunjungi Iran dalam rangka memenuhi undangan dari Lembaga Internasional Pendekatan antar Mazhab Islam untuk menjadi pembicara dalam Dialog antar Mazhab Sunni-Syiah yang terselenggara di Qom [22-23/9]. Beliau mengatakan, “Saya berterimakasih telah diundang untuk melihat masyarakat Iran dari dekat. Bertemu dengan sejumlah ulama, mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan dan penelitian Islam terutama pusat penelitan Al-Qur'an yang bagi saya begitu sangat mengagumkan dan belum pernah saya lihat di Negara-negara lain.” Hadir pula sejumah ulama dan tokoh Islam Indonesia lainnya, seperti KH. Mustamin Arsyad Ketua MUI Makassar, DR. Daud Poliraja ketua Dewan Masjid Indonesia, Kyai Mudrik al-Qari Pimpinan Pondok Pesantren al-Ittifaqiyah Palembang dan Prof. DR. Aflatun Mukhtar MA Rektor UIN Raden Fatah Palembang.

Dengan pernyataan para tokoh yang kesemua namanya saya tuliskan di atas, dengan membawa nama baik organisasi dan lembaganya masing-masing apakah kita masih juga memberikan kepercayaan kepada pihak-pihak lain untuk mengambil pengaruh dengan menebarkan sikap permusuhan dan kebencian kepada sesama muslim?

Terutama Said Abd. Shamad, Lc, yang bukan guru besar, bukan pimpinan ormas Islam, bukan pimpinan pesantren, bukan alumni universitas timur tengah, dan tidak pernah sama sekali ke Iran, yang hanya dengan modal komunitas LPPInya namun dengan rasa percaya diri yang tinggi mengatakan, lebih tahu tentang Syiah dari orang Syiah sendiri dan sedemikian merendahkan keilmuan ulama-ulama Sunni hanya karena memberikan pengakuan atas keabsahan Syiah karena memang secara obyektif melakukan tabayyun dan melihat langsung bukan dari informasi yang berseliweran dari mulut ke mulut, anda mau menyerahkan urusan ini kepada mereka?.

Kebenaran memang tidak didasarkan pada ketokohan seseorang, namun seseorang ditokohkan orang banyak itu, karena konsistensinya pada kebenaran.

Ismail Amin, sementara menetap di Iran

[versi singkat tulisan ini, dimuat di Majalah Itrah]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline