Lihat ke Halaman Asli

ismail junaid

Language Enthusiast, Freelance Translator, and Writer Wannabe

Akhir

Diperbarui: 25 Juni 2015   05:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hujan semakin deras mengguyur Kota Makassar, saat tangis kesedihanku berbaur menjadi satu dalam keramaian jalan di Kota Daeng ini. Sesekali sorot lampu pengendara sepeda motor menyadarkanku dari lamunan panjangku yang aku sendiri tak tahu apa yang sedang terjadi.
Aku teringat kisah dua minggu yang lalu, kisah sedih saat hubungan kita mulai memburuk. Aku ingat hari itu aku bersamamu seharian, aku menjemputmu tepat di ujung persimpangan jalan itu. Dengan sepeda motor tuaku, ku antarkan kamu ke kampus biru itu. Aku menemanimu jalan ke dalam kampus walau aku tahu kamu agak segan jalan bersamaku lagi. Kita duduk di gazebo di samping kantor jurusanmu itu. Aku duduk tepat di sampingmu, ku coba mendekatimu namun kamu malah menjauhiku. Aku tahu kau berubah, kau tak ingin lagi dekat denganku. Namun aku tetap ada disampingmu walau pikiranmu telah jauh meninggalkanku.
Merasa tak betah denganku lagi, tanganmu dengan sigap mengambil hape kecil yang ada di dalam tasmu, segera kau menelpon seorang sahabatmu dan mengharapkannya segera datang di kampus. Pikiranku pun berkelik, apakah aku tak lagi seperti dulu? Apakah aku tak bisa lagi membuatmu betah berlama-lama denganku?. Dan ternyata semua itu benar. Saat sahabatmu datang, seketika itu kau beranjak dari tempatmu seakan menjauhiku yang sedari tadi bersamamu. Kau asik bercerita dengannya sambil membelakangiku. Tak seperti dulu, kau tetap bersamaku meski ada teman atau sahabat yang bercerita denganmu.  Apakah aku punya salah? Atau aku harus memaklumi ini semua?.
Aku penasaran dengan hape berwarna pink yang sedari dari tak bisa aku buka karena proteksi password yang kau pasang dan kaupun tak mau memberitahuku passwordnya. Dalam hatiku berpikir, apakah ku salah jika ingin mengetahuinya? Dulu kau tak pernah seperti itu, seakan kau menutupi sesuatu dariku. Pikiranku terus berkecamuk dalam hati. Tiba-tiba aku terpikir tuk melihat hape hitam kecil yang tadi kamu gunakan menelepon temanmu. Aku mendatangimu dan hendak meminjam hape itu, namun kamu bersikeras menolaknya. Rasa curiga terus bertambah saat kulihat jemarimu berusaha menekan tombol-tombol hape itu seakan hendak menghapus pesan yang ada di dalamnya. Aku tak kuasa menahan diriku, memaksamu dengan keras tuk memberikan hape itu, aku memegang tanganmu dengan keras dan berusaha mengambil hape itu, namun kamu juga berkeras tuk mempertahankannya. Hingga akhirnya kamu merasakan sakit akibat genggaman tanganku. Karena aku tak tega melihat kesakitan itu akhirnya ku lepas genggaman tanganku.
Aku berlari menuju gazebo tadi, segera ku ambil tas ranzel yang tadi ku bawa dan beranjak pulang meninggalkanmu. Belum jauh melangkah aku tersadar, aku terlanjur merasa penasaran, aku tak mau kamu terus seperti itu, segera ku putar langkahku kembali menuju ke gazebo tadi. Ku lihat dirimu telah bergegas pergi dengan sahabatmu itu. Kamu berjalan dengan berpura-pura tak melihatku yang telah berada tepat di belakangnmu. Aku mengikutimu hingga kamu masuk dalam toilet yang berada tepat di samping took buku itu.
Aku menunggumu tepat di depan pintu ruang tersebut, begitu kamu keluar aku segera menahanmu, aku bertanya panjang lebar tentang hape dan menanyakan perasaanmu padaku. Kamu sangat susah tuk mengatakan berapa password hapemu tersebut, terlebih lagi kamu sengaja mematikan hape hitam yang tadi kita perebutkan. Sebenarnya ingin sekali aku melihat isi hape hitam itu, tapi aku tau akan lebih menyakitkan lagi jika nanti ternyata betul apa yang kupikirkan terdapat dalam hape tersebut. Aku tak tau apa aku terlalu berlebihan, tapi aku tak tahan dengan sikap mu itu. Setelah bersikeras dengan berbagai alas an kau meninggalkanku di ruangan itu sendiri. Aku merasa kacau, segera aku masuk ke dalam kamar mandi yang berada dalam ruangan itu. Ku tenggelamkan kepala ini dalam air, berharap bisa memberiku kesegaran. Aku keluar dari kamar mandi itu, namun aku tetap berdiri di depan pintu ruangan tersebut. Terlintas di benakku, memori-memori indah saat dulu, saat kau tetap bersamaku, menemaniku walau apapun yang terjadi. Terus ada di sampingku, saat aku rindu akan dirimu. Namun saat ini semua telah berubah. Air mataku menetes, aku sedih tak ada kau disini. Aku ingin ditemani, aku rindu dengan semua itu.
Kamupun selesai kuliah, aku melihatmu datang bersama temanmu ke fakultas di mana aku dan temanku sedari tadi menunggumu. Kamu pun berjalan melaluiku, sambil berkata kau akan ke pergi ke sentral. Aku segera bangkit, ku langkahkan kakiku mengejarmu yang telah keluar dari gedung fakultas. Aku bertanya mengapa kau terlalu cepat pergi, kenapa tak mau tinggal dulu bersamaku. Apakah kau tak tau,,aku sangat merindukanmu. Kau beralasan bahwa akan mengikuti kajian nanti sore jadi kau harus bergegas pergi. Aku bersikeras menahanmu saat itu dengan berbagai alas an, namun kau tetap menolak tuk bersamaku, bahkan kau berkata “buang-buang waktu saja jika kita bersama”.
Hatiku terasa teriris, kata itu tak pernah kau ucapkan saat bersamaku, bahkan dulu kau akan sedih jika aku tak ada waktu untukmu. Tapi kini, kau marah dan merasa rugi jika harus menghabiskan waktu bersamaku. Waktumu akan lebih bermakna jika tanpa aku dan mungkin aku tak berarti lagi. Aku ada dan tiada mungkin sama saja bagimu. Tapi apakah kau tahu, aku tak bisa jika harus tanpamu. Aku berniat tuk pulang, kau yang tak lagi menginginkanku di sisimu terlalu egois tuk kunanti.
Namun saat ku hendak keluar dari tempat parkir, kau muncul di hadapanku, dengan wajah yang sedih, kau mengambil kunci motorku dan memohon maaf padaku. Aku tak bisa berkata saat itu, aku melihat wajahmu, aku teringat kenangan indah yang lalu, saat kau membujukku, saat yang sangat aku rindukan. Aku berusaha tuk menyadarkan dirimu atas semua yang terjadi hari ini, kau seakan tak peduli padaku lagi. Aku juga menjelaskan kepadamu semua yang terjadi padaku kemarin, tentang aku yang mengikuti lomba di Dinas Pemuda dan tentang kakiku yang terlindas ban mobil kemarin itu.
Dulu kau selalu memberiku semangat, mendoakanku dan juga mendampingiku, tapi kemarin kau tak ada disampingku, tak ada kata-kata yang memotivasiku hingga semangatpun tak kau berikan. Kemarin aku sengaja tak menghubungimu, aku ingin tahu apa kau masih berarti bagimu, dan jika memang aku berarti kau akan menghubungiku, paling tidak dengan pesan singkat atau sms, namun ternyata tidak. Tepat pukul tiga sore, aku meninggalkan tempat tesku di Dinas Dispora. Terjebak dalam kemacetan yang cukup parah sampai-sampai kakiku terlindas ban mobil pete-pete, membuatku semakin berharap tuk cepat sampai dan melepas lelah sembari bertemu denganmu.
Aku tiba di kosanmu, namun kau tak berada di situ. Aku berpikir kau masih di kampus, jadi aku menuju ke kampusmu. Aku tiba di kampusmu tepat pukul lima. Aku masuk ke dalam gedung fakultas dan melihatmu bersama teman dan pegawai jurusan sedang berada dalam kantor jurusan tersebut. Aku menunggu tepat di depan pintu jurusanmu. Aku menunggu dan menunggu. Aku mulai tak sabar menunggu, akupun meneleponmu. Dua nomor yang aku hubungi tak satupun yang kau angkat. Aku melihatmu membiarkan saja hapemu yang bergetar itu.
Namun, ku tak putus asa, ku coba tuk menelepon temanmu yang ada disitu bersamamu, dan untunglah ia mau mengangkatnya, akupun menanyakanmu, berpura-pura tak tau bahwa kamu ada disitu bersamanya. Namun, kali itu rasa sakit yang ku peroleh “Sudah pulangmi kak” itu jawaban yang ia berikan. Aah..Mengapa,??? Mengapa kau menyuruhnya tuk bohong? Apakah kau tak ingin diganggu saat berada bersama orang-orang itu? Atau kau tak lagi menganggapku? Aku tertunduk, mencoba menahan air mata yang mencoba tuk keluar. Ku tarik nafas dalam-dalam mencoba tuk meresapi cintaku yang telah mengakar ini. Aku tak ingin semuanya berakhir, aku yakin ini hanya cobaan darinya. Walaupun kau akhirnya tau semuanya, namun kau tetap tak mau berubah. Aku memberikan kesabaran agar cinta ini tetap bertahan.
Aku tersadar dari lamunan kemarin itu, aku kembali melihatmu yang berdiri disamping motorku. Aku hanya bisa mengingatkanmu tentang kenangan-kenangan kita dulu. Sejenak kau tersadar, ku lihat kau menangis dan menyesali semuanya. Akupun sadar aku terlalu menjagamu, tapi semua kulakukan tuk cinta kita.
Tersadar dalam waktu yang berlalu, kamu kembali meminta tuk  pergi ke sentral, kau meninggalkanku dengan kemarahan lagi. Tapi anehnya kau tak menuju ke tempat pete-pete menuju sentral, kau malah menuju ke jurusan. Aku kembali mengikutimu, kulihat dari luar pintu, dirimu bersama temanmu dan pegawai jurusan itu, kalian tertawa dan aku melihatmu sangat bahagia disitu. Kau bercanda dengan mereka, bersuka ria dan bahagia yang terpancar dari wajahmu. Bahagia yang dulu selalu kulihat jika kita sedang bersama. Tawa lepas dan senyum yang selalu menghiasi wajahmu itu telah jarang ku lihat saat kau bersamaku.
Aku tahu kau tak lagi bisa bahagia seperti itu jika bersamaku. Kau tak lagi melihatku sebagai sosok yang bisa membawa tawa dalam hidupmu. Kebahagiaan itu telah jauh hilang saat kau di sisiku. Hanya amarah dan tangis yang terkadang bahkan selalu menemani pertemuan kita. Kau terlalu keras dengan organisasimu, yang terkadang lupa akan kerasnya diriku yang sendiri tanpa belahan jiwaku lagi. Wajahku tak pernah lagi bahagia seperti dulu. Aku menunggumu tuk kembali membahagiakanku. Aku menunggu saat itu. Semoga saat itu hadir sebelum hati ini lelah. Lelah menunggumu dan akhirnya mati termakan oleh waktu dan kejamnya tidak tutur yang terus menyayatnya. Aku bertahan karena ku yakin cintaku kepadamu akan berakhir indah, sekeras kau coba tuk matikan cintaku, sekeras itu ku kan menjaga cinta kita karena ku yakin kau hanya untukku.
Aku kembali tersadar dari lamunan panjang itu saat bunyi klakson mobil truk yang tepat berada di belakangku seakan memecah gendang telingaku. Aku bingung dan aku tak percaya malam ini aku memutuskan hubungan yang telah ku jalani bersamamu selama lebih dari 3 tahun. Aku sadar aku terbakar emosi dengan sikap mu yang tak mau jujur dan menyembunyikan identitas laki-laki yang mengantarmu pulang dengan sepeda motor malam itu. Aku masih ingat jelas, saat kamu mengirim sms bahwa saat itu kamu sedang berada di rumah sepupumu. Tapi saat aku bertanya kamu sedang bersama siapa, kamu selalu mengalihkan pembicaraan.
Setelah shalat di mushalah pertamina, aku kembali penasaran, segera aku menelepon kamu. Cukup lama aku menunggu sebelum kamu akhirnya mengangkat teleponku. Terdengar suara yang agak gemetaran disertai suara agak ribut seperti gemuruh angin seakan kamu lagi dalam perjalanan. Aku berpikir dalam hati, katanya kamu lagi di kostnya sepupumu, kok seperti lagi diatas motor, aku mulai curiga dan aku langsung bertanya, “kamu lagi dimana? Ma siapa?” Namun kamu tidak memberikan jawaban dari pertanyaanku, kamu malah balik bertanya “kenapakah? Dimanaki kah?” jawaban yang kembali membuatku semakin curiga.
Huh..pikiranku mulai tak karuan, aku yang sedari tadi menelpon sambil membawa motor mulai terbawa emosi, aku seakan melihatmu bersama dengan lak-laki lain, walaupun aku tak tahu pasti kamu bersama dengan siapa saat itu. Aku berhenti disamping perempatan menuju ke kostku, aku ingin memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Aku lalu bertanya lagi padanmu, “jawab dulu pertanyaanku, sapa ditemani itu, kenapaki kah tidak mau bilang? Samaki pasti cowok lain toh?”. Aku mulai mengeluarkan suara yang agak keras, berharap kamu mau menjawab pertanyaanku itu, tapi ternyata kamu tak menjawabnya sama sekali bahkan kamu malah mematikan teleponku. Aku semakin emosi, dalam hatiku terus bertanya dan bertanya, rasa curiga ini semakin menjadi jadi, apalagi semua panggilanku tidak satupu yang kamu angkat.
Akhirnya aku memutuskan untuk menuju ke kosmu. Dengan hati yang berdebar-debar, aku mengendarai sepeda motorku dengan penuh rasa takut dan tak percaya tentang semuanya. Sebelum sampai di kosmu, aku berhenti sejenak, aku ingin memastikan apakah ia benar berada di kos sepupumu itu. Aku menelepon sepupumu dengan berpura-pura menanyakan apakah kamu masih disana atau sudah pulang. Aku tak percaya, ternyata kamu tidak pernah ke kost sepupumu tersebut. Aku semakin gelisah, mengapa kamu bohong lagi? Mengapa kamu tidak mengatakan yang sebenarnya? Mengapa kamu juga mematikan teleponku dan tidak mau lagi mengangkatnya setelah itu. Aku tak tau lagi seberapa emosi diriku saat itu.
Aku tahu emosi ini telah menguasai diriku. Saat itu tak ada lagi sedikitpun pemikiran yang jernih dalam otakku. Aku hanya ingin tahu siapa sebenarnya orang itu. Aku tiba di kosmu dengan perasaan yang tak karuan. Aku berdiri di depan kosmu. Aku mengetuk pintunya, lalu terdengar suaramu yang agak parau, “masuk miki saja tidak dikunci ji”. Aku membuka pintu dan aku melihat kamu sedang duduk sambil menyisir rambutmu. Aku tahu saat itu kamu telah tahu apa yang akan aku tanyakan. “Kenapaki?” kamu bertanya seakan tak tahu apa-apa, padahal aku melihat matamu telah penuh ketakutan. Aku tak masuk ke dalam, dari luar aku bertanya siapa laki-laki itu dan kamu malah heran, kenapa saya bisa tahu tentang itu, kamu mungkin berpikir tadi saya melihatmu dengan laki-laki itu. Kamupun menjawab “Temanku ji. Na antar jika pulang”, jawabmu dengan agak gugup. “Sapa namanya ga? Kenapaki juga bohong sama saya? Kenapa juga dimatikan telponku?”,Aku bertanya dengan emosi dan pertanyaan-pertanyaan itu tak dapat lagi kamu jawab, kamu hanya berulang-ulang mengatakan bahwa laki-laki itu hanya temanmu saja. Jika memang teman, mengapa kamu enggan memberitahuku siapa namanya.
Aku beranjak dari depan pintu kosmu, aku nyalakan motorku dan bertanya lagi pertanyaan yang sama, namun kamu tetap tak mau menyebut nama laki-laki itu. Aku tak kuasa menahan emosiku, dengan suara yang cukup keras aku berkata : “Kalo tidak mauki bilang i berarti lebih ta pilih itu orang dari pada saya?” Namun kau tetap tak mau mengatakan namanya, hatiku seakan menangis, aku tak tahu siapa orang itu. Orang yang begitu kamu bela, sampai-sampai tak mau mengatakannya namanya. Aku tak sanggup lagi aku menatap matamu yang mulai berkaca, “Kalo begitu sudahi mi paeng semua ini, selamat tinggal, makasih tuk waktuta selama ini”. Aku melihatmu  menangis dan memohon padaku, tapi emosiku telah menguasai diriku, aku tak lagi sanggup dengan semuanya, aku meninggalkanmu dengan luka dihatiku.
Aku tersadar, semua adalah ketentuan-Nya, namun mengapa hati ini begitu sakit terasa. Sepanjang jalan yang kulalui terasa begitu kelam, aku mencoba bernyanyi di malam yang semakin ramai. Aku tak tahu apa yang harus ku lakukan. Aku sangat menyayangimu, tapi mengapa aku harus mengucapkan semua itu. Air mataku mulai mengucur deras, saat semua kenanganku bersamamu membayangi setiap ruas jalan yang kususuri. Aku melihat kenangan indah itu, kenangan yang takkan pernah bisa ku lupakan. Saat-saat indah bersamamu, merangkai tawa dan duka, merajut haru dan tangis. Aku tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi esok, saat semua kenangan itu hadir dalam setiap langkah di hidupku. Kuatkan aku Tuhan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline