Lihat ke Halaman Asli

Sebuah Alternatif Metode Pendidikan dari Metode Waldorf

Diperbarui: 2 Agustus 2018   10:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Three Toddler Eating on White Table


Memangnya, sekolah tanpa teknologi masih bisa bertahan di abad ini?

Pekerja teknologi arus utama, semisal Google, Apple, dan eBay, menyekolahkan anak-anaknya di Sekolah Waldorf, Los Altos, California. Keunikan Sekolah Waldorf adalah siswa-siswinya dijauhkan dari teknologi---bukan hanya dibatasi.

Tidak ada komputer di kelas-kelas. Bahkan, pihak sekolah mewanti agar siswa-siswinya menggunakan komputer di rumah. Pandangan para pendidik Waldorf sangat sederhana: komputer dan sekolah jangan dicampur-campur[1]. Saat sekolah-sekolah lain memiliki perangkat yang canggih di ruang-ruang kelas, ruangan Sekolah Waldorf cukup diisi papan tulis hitam dengan kapur yang warna-warni, macam-macam ensiklopedia di rak-rak buku, meja kayu tempat ditaruhnya buku-buku pelajaran dan pensil-pensil.

Apa Sebenarnya Waldorf Itu?

Waldorf merupakan sistem pendidikan yang menitikberatkan pada kreativitas[2]. Waldorf bertujuan untuk memahami sifat alamiah anak-anak[3]. Pada tahun-tahun awal masuk sekolah, anak-anak membutuhkan lingkungan yang nyaman dan tidak membuatnya merasa tergesa-gesa dalam memahami suatu pembelajaran. Lingkungan yang nyaman mampu mengembangkan kecerdasan emosional, sosial, dan kognitif.

Inti dari metode Waldorf adalah pemahaman bahwa pendidikan merupakan suatu seni---pendidikan harus sesuai pengalaman anak-anak.

--- Rudolf Steiner, perintis metode Waldorf

Tatkala globalisasi melahirkan peranti-peranti yang makin canggih, sekolah yang menerapkan metode Waldorf justru menerapkan aturan "tidak ada teknologi". Lantas, apa masih relevan metode Waldorf---dengan fokus "aktivitas fisik dan pembelajaran kreatif"-nya---dalam menumbuhkembangkan kecerdasan anak yang, pada zaman ini, haus pada perangkat teknologi?

Maureen Healy, pakar psikologi perkembangan dan kreativitas, menyatakan bahwa Waldorf layak menjadi sekolah bagi siswa yang memang sejak awal tidak begitu tertarik dengan teknologi2. Toh, perintisnya, Rudolf Steiner, hidup pada awal abad ke-20 dan dia tidak mengalami zamannya bermain Instagram dan membaca buku digital. Namun, Waldorf juga layak menjadi tempat bagi anak-anak yang sudah kecanduan gadget. Keefektivitasan Sekolah Waldorf, menurut Association of Waldorf Schools of Nort America, menunjukkan angka 94% siswa yang lulus dari Sekolah Waldorf mampu melanjutkan sekolah di institusi bergengsi, semisal Oberlin, Berkeley dan Vassar1.

Perdebatan tentang Waldorf

Tidak semua setuju terhadap pelarangan teknologi bagi anak-anak usia sekolah. Paul Thomas, profesor associate di Furman University, adalah salah satu yang tidak setuju dengan larangan penggunaan teknologi di ruang kelas. "Pendekatan teknologi secara berkala selalu menumbuhkan manfaat pembelajaran di kelas," ujarnya1.

Hari ini, di Indonesia, sudah menjadi kelaziman bagi kita melihat anak-anak usia sekolah lebih pandai mengoperasikan suatu aplikasi daripada orangtua. Tidak sedikit pula dari mereka yang mampu menghasilkan uang melalui endorsement dan keterampilan di depan gadget-nya. Ini merupakan prestasi yang tidak ditemukan pada tahun-tahun sebelum 2000-an dan bisa dijadikan argumen untuk memberikan gadget pada anak.

Namun, perkataan Finn Heilig, siswa Sekolah Waldorf berumur 10 tahun yang suka belajar dengan bolpoin dan kertas, layak dijadikan bahan pertimbangan. "Kamu bisa lihat betapa tidak rapinya tulisan tanganmu di kelas satu. Kamu tidak bisa melakukan ketidakrapian itu dengan komputer, sebab semua huruf tertulis sama rapinya."

Jadi, mungkinkah tulisan anak yang tidak rapi itu disebabkan durasi bermain gadget yang terlalu lama? Silakan Ayah Bunda mengoreksi masing-masing.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline