Lihat ke Halaman Asli

Indra Sastrawat

Wija to Luwu

Senjakala Bumiputera

Diperbarui: 16 Desember 2016   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisma Bumiputera Yang Megah di Bilangan Sudirman (Foto:www.carikantor.com)

 Awan hitam kini menggelantung di pusat bisnis Bumiputera di bilangan Sudirman. Dalam beberapa tahun, krisis keuangan seperti belum hilang dari Bumipuetra. Sulit membayangkan sebuah perusahaan besar sekelas AJB Bumiputera 1912 diberitakan masuk dalam pengawasan OJK. Padahal tahun 2015 lalu ratio RBC mereka masih hijau diatas 120%. Muncul beberapa analisa yang mengaitkan kondisi keuangan perusahaan dengan prilaku para karyawannya. Di bisnis asuransi permainan premi dan klaim sering menjadi ladang bisnis para agen dan karyawan.

Otoritas Jasa Keuangan membentengi Bank dan Asuransi dengan ratio minimal. Di Bank dikenal dengan istilah CAR (capital adequency ratio) atau ratio kecukupan modal, minimal 8%. Singkatnya begini bahwa perbandingan antara modal suatu bank terhadap asetnya (bobot berdasarkan rationya) minimal 8%. Perhitungan agak rumit karena aset punya bobot. Logika sederhananya (semoga gak salah) setiap rupiah dana kita dibank itu diakui sebagai aset bank, semakin banyak tabungan maka bank mesti menyiapkan tambahan modal minimal 8%.

Cek Kesehatan bernama RBC

Kalau di Asuransi dikenal dengan istilah RBC (Risk Based Capital) atau resiko kecukupan modal yah miriplah dengan bank tadi. RBC asuransi minimal 120%, artinya aset perusahaan 120% lebih banyak dari jumlah klaim. Persoalan timbul ketika mereka bermain main dengan laporan keuangan. Nilai aset dan modal sengaja dipermak cantik. Kini diperkirakan terdapat selisih 7 sampai 10 Trilyun selisah antara aset dan kewajiban di AJB Bumiputera 1912.

Salah satu cases yang terjadi pada salah satu asuransi umum syariah yang melaporkan nilai RBC nya pernah dilaporkan diangka 120%, nilai minimal dikatakan sehat. Kemudian beberapa tahun masuk menjadi bagian sejarah sebagai asuransi umum syariah pertama dan harus ditutup. Contoh yang paling memalukan adalah kasus Lehman Brother dan Enron Corporation di USA, perusahaan memanupulatif laporan keuangannya dan keduanya meninggalkan kepahitan terhadap ratusan ribu karyawan, bangkrut ditengah pamor yang melejit.

Untuk perusahaan non keuangan ada yang dikenal dengan 4 ratio untuk melihat sehat atau sakitnya perusahaan. Salah satunya ratio solvabilitas yaitu kemampuan perusahaan untuk membayar semua kewajibannya apabila dilikuidasi. Salah satu rumus yang dipakai adalah Debt to equity ratio atau ratio utang terhadap modal, srandar industri beda beda bisa 90% bisa 75% tapi semakin kecil berarti semakin sehat. Perusahaan ibarat tubuh ada cek kesehatannya.

Sengkarut Masalah

Kembali ke judul, Setidaknya ada 4 analisa yang membuat Bumiputera (asuransi swasta tertua di indonesia) seperti sekarang:

1. Gempuran asuransi asing dengan modal dan sistem manajemen yang hebat disinyalir jadi biang keroknya. Dengan jumlah penduduk 250 juta lebih, Indonesia adalah pasar asuransi yang menggiurkan.

2. Pemilihan investasi yang salah, bisnis asuransi adalah bisnis mengelola dana pihak ketiga untuk ditaruh dibanyak instrumen investasi baik saham maupun unit link. Salah memilihnya berarti kiamat.

3. Masalah internal, keengganan melakukan perubahan dan moral hazard adalah bom waktu kehancuran sebuah perusahaan. Di bisnis asuransi, belajar dan melakukan perubahan adalah senyawa kehidupan. Tiada salahnya menduplikasi kesuksesan asuransi besar seperti Prudential dengab sistem agencynya. Itu pula yang membuat salah satu asuransi jiwa syariah besar bisa tetap eksis karena memakai sistem agency.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline