Lihat ke Halaman Asli

Indra Sastrawat

Wija to Luwu

"Jejak" Religi Cheng Ho di Tanah Borneo

Diperbarui: 16 Oktober 2016   19:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gerbang Masjid Cheng Ho (Foto:koleksi Pribadi)

Ini kali keduanya saya melakukan perjalanan darat dari Balikpapan ke Samarinda, yang pertama perjalanan malam sehingga saya tidak bisa menyaksikan secara langsung deretan pepohonan hijau yang menyisir kawasan Bukit Soeharto yang legendaris itu. 

Beruntung kali ini kami mengambali start jam 14.00, sehingga saat melintas di kawasan Taman Hutan Raya Bukit Soeharto hari menjelang sore. Sebagian besar jalan darat di Kalimantan Timur yang saya jumpai lumayan mulus terutama jalan dari Balikpapan ke Samarinda kurang lebih 120 Km.

Antara Kota Balikpapan dan Samarinda dipisahkan oleh Kabupaten Kutai Kertanegara (Kukar), jadi kawasan Taman Hutan Bukit Soeharto masuk wilayah Kukar. 

Dahulu kawasan ini begitu asri, sekarang Bukit Soeharto telah padat oleh pemukiman warga. Setelah menempuh perjalanan dua jam lebih tiba saatnya kami beristirahat sekaligus menunaikan shalat Ashar. 

Sesuai kesepakatan bersama rombongan (2 bus mini dan 3 MPV) kami mampir di masjid Muhammad Cheng Ho. Awalnya saya terkesima saat teman menyebut nama Masjid Cheng Ho, rupanya masjid Cheng Ho juga terdapat di tanah Borneo.

Pelataran Masjid Cheng Ho (Foto:Koleksi pribadi)

Bagian Depan Masjid Cheng Ho (Foto: koleksi pribadi)

Masjid Cheng Ho berjarak kurang lebih 20 Km dari Samarinda, masuk kedalam kecamatan Loh Janan Kabupaten Kukar. Sebenarnya kami bisa saja shalat di Samarinda, namun kami tak kuasa menolak magnet masjid Cheng Ho, tentu ingin menebus rasa penasaran saya atas masjid ini. 

Lokasi masjid strategis dengan lahan parkir yang lumayan luas, di depan masjid penjual makanan dan minuman ringan berjejer siap mengganjal rasa lapar dan dahaga musafir. 

Suasana masjid bersih dan nyaman karena berada di ketinggian dengan hembusan angina sepoi-sepoi menyapu rasa capek kami. Sebenarnya, saya membayangkan dekat masjid ada perkampungan muslim Tionghoa, ternyata tidak. 

Bagian Parkir masjid dengan beragam penjual (foto:koleksi pribadi)

Ornamen masjid perpaduan warna merah, kuning dan hijau. Warna kuning dan merah sangat identik dengan negeri Tiongkok. Yang berbeda dari kebanyakan masjid Cheng Ho di daerah lain adalah kubah masjid yang tidak berkhas bangunan Tiongkok. Kubahnya seperti kubah biasa. Saya searching di google, akhirnya dapat informasi kalau masjid ini dibangun tahun 2006 dan selesai tahun 2007. 

Masjid ini swadaya masyarakat serta hibah dari Wili Susanto dan bantuan oleh Muhammad Jos Soetomo, dua nama terakhir adalah keturunan Tionghoa. Beberapa pedagang makanan dan tukang parkir yang kami ajak bicara berasal dari tanah Bugis, mereka masih bisa berbahasa Bugis walau aksen bicaranya sudah Kalimantan.

Setelah kurang lebih 30 menit berada di masjid Cheng Ho, saya meninggalkan masjid ini dengan sebuah pertanyaan, kenapa kebanyakan masjid yang dibangun muslim Tionghoa sering memakai nama Cheng Ho sang laksamana legendaris dari Tiongkok, padahal masih banyak tokoh muslim dari Tiongkok yang layak namanya dijadikan nama masjid, sebut saja Dong Fuxiang (Jenderal Muslim dinasti Qing) atau Yusuf Ma Dexin (orang China pertama mentranslate Al Quran ke Bahasa China) sehingga masyarakat umum paham bahwa Islam dan Tionghoa punya pertalian budaya dan sejarah yang kental. Semoga semakin banyak muslim Tionghoa yang berkontribusi atas negeri ini. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline