"Lindaweni Fanetri saat tampil gemilang di Kejuaraan Dunia 2015 di Jakarta (foto:http://www.pbdjarum.org)"Sektor putri menjadi PR terbesar bagi PBSI, dua tunggal putri gagal memberi kejutan di All England 2016. Maria Febe dan Lindaweni Fanetri terhenti dibabak 16 besar dengan cara yang tragis, tidak memberi perlawanan yang heroik. Yang menyedihkan bahwa keduanya merupakan tunggal putri terbaik kita bila menilisik rangking BWF per 10 Maret 2016. Walau kedua punya harapan bermain di olimpiade 2016, namun mengharapkan medali pada keduanya seperti Maria Kristin membuat kejutan di Olimpiade 2008 adalah mustahil.
Usia emas pemain putri berada pada usia sampai 27 tahun, setelah usia tersebut biasanya pemain putri mengalami fase penurunan atau mundur karena urusan keluarga. Maria Febe dan Lindaweni sama sama berusia 26 tahun, susah mengharapkan banyak pada keduanya. Bahkan tidak jarang pemain top dunia kini berada pada usia dibawah 23 tahun (lihat gambar dibawah). Pemain lain seperti Sania Nehwal berusia (25 tahun), Wang Shixian (25), Li Xuerui (25), Wang Yihan (25). Pemain tersebut diambang masa keemasan, mungkin dua atau tiga tahun lagi mereka mengalami fase penurunan. Dan disaat itu regenerasi akan lahir, lalu sudah siapkah PBSI menyongsong regenerasi tersebut!
[caption caption="Pemain Muda dibawah 23 tahun"]
[/caption]Masalah utama tunggal putri kita stamina dan mental bermain. Lindaweni Fanetri misalnya bermain cemerlang di World Championship 2015 menembus semifinal, namun setelah itu Linda mengalami penurunan drastis. Sedangkan Maria Febe atau Bellaetrix prestasinya tidak beranjak baik. Bila dibandingkan Thailand, Jepang atau India, kini kita jauh tertinggal. Padahal ketiga tersebut dulunya mengimport pelatih dan belajar dari kita, namun kini putri-putri kita dibuat tak berdaya.
The Next Susi
Kini Cipayung dihuni beberapa pemain putri yang belum mentas, mereka masih berkutat di turnamen kelas bawah selevel Challenge, kalaupun coba naik ke kelas Grand Prix mereka langsung berguguran seperti dedaunan di musim gugur. Mematangkan mereka di turnamen kelas bawah memang perlu namun perlu diingat bahwa bibit menjadi pemain dunai mestinya sudah nampak dikala usia 20-an kebawah seperti Susi Susanti dan Mia Audina.
Menurut peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992 itu, minimnya prestasi di sektor tunggal putri juga disebabkan karena terjadinya satu kekosongan generasi di tahun 90-an. "Di jaman saya, dulu ada tujuh tunggal putri. Salah satu yang paling muda dan menonjol adalah Mia Audina," lanjut Susi Susanti.
Pemain termuda kita yang berada di top 100 dunia adalah Greogoria Mariska, usia masih belia 16 tahun. Selain itu masih ada Fitriani (19 tahun) atau Hana Ramadhini (21 tahun). Beban berat kini dipikul pelatih putri Edwin Iriawan, pelatih yang sukses bersama Sania Nehwal dan PV. Sindhu. Kedatangan Edwin diharapkan menjadi cahaya dalam kegelapan. Hasil polesannya bersama Sania dan Sindhu diharapkan bisa menular ke Fitriani cs.
[caption caption="Pemain muda Indonesia di top 100 Dunia"]
[/caption]Jalan terjal kini menghadang PBSI untuk melahirkan pemain putri kelas dunia. Lewat turnamen sekelas Sirnas (Sirkuit Nasional) potensi pemain daerah dan pemain PB akan muncul. PBSI perlu masuk ke sekolah umum memperkenalkan kembali bulutangkis agar diminati, setidaknya tidak kalah pamor dari pencari bakat musik atau model. Perlu dperhatikan juga sport science para pemain kita. Kalau sudah begitu, tinggal tim pelatih di Cipayung yang mengasah mental, fisik, teknik dan stamina mereka. Sudah saatnya PBSI lebih banyak memberikan jam terbang kepada pemain muda, lupakan saja pemain senior yang tidak bisa move on.
Sudah terlalu lama kita menantikan kebangkitan sektor putri seperti masa keemasan Susi Susanti. Susi merupakan juara All England terakhir dari Indonesia, itu sudah dua dekade yang lalu. Bukan tahun ini, paling cepat tahun depan kita bisa menikmati tangan dingin Edwin Iriawan akan melahirkan para srikandi yang bertarung dengan martabat di turnamen kelas Super series.