[caption caption="Keterangan gambar: Tong Sinfu bersama Lin Dan, dua maestro beda zaman (kompas.com)"][/caption]Olahraga tepok bulu telah membawa mereka melanglang buana keliling dunia. Ketenaran dan kekayaan pun datang menghampiri, namun nyatanya mereka tetap memilih menajdi warga negara lain, yah mereka membelot dari kawan menjadi lawan. Indonesia memang dikenal sebagai gudangnya pemain bulutangkis kelas dunia. Olahraga ini begitu digandrungi dari pinggiran negeri hingga metropolitan yang padat, bulutangkis adalah kebanggan bangsa. Lalu apa yang membuat mereka kabur ke luar negeri?
Perjalanan panjang telah dilalui Tong Sinfu, lelaki kelahiran Lampung 13 Maret 1942 adalah sosok di balik sukses tunggal putra Indonesia diawal dekade 90-an. Lewat sentuhan emasnya, Indonesia tidak tersentuh negara manapun. Tong Sinfu adalah arsitek dibalik kebintangan Ardy B. Wiranata, Joko Suprianto, Alan Budikusuma, Heryanto Arbi atau Hermawan Susanto. Sepanjang tahun 1992 sampai 1996, tunggal putera kita merajai kejuaraan bulutangkis dunia. Tengok saja Olimpiade 1992 dari emas sampai perunggu adalah milik kita.
Di tahun 1998, Tong Sinfu kembali ke Tiongkok setelah permohonan menjadi warga negara Indonesia ditolak oleh pemerintah. Kurang apa lagi jasa Tong Sinfu untuk negeri ini, tapi pemerintah seperti tutup mata. "Waktu itu saya sudah berusaha mati-matian untuk menjadi WNI, tapi tetap tidak dikabulkan. Apa mau dikata," katanya. Kepergian Tong adalah berkah bagi Tiongkok, tidak lama setelah itu Tong Sinfu sukses melahirkan pemain kelas dunia seperti Lin Dan, Xia Xuanze, Chen Jin dll. Tong mengaku masih punya banyak sanak-saudara di Indonesia. Sesekali dia pulang ke Indonesia. Kedua anaknya (dia tidak mau menyebutkan namanya) juga dilahirkan di Indonesia.
Lain halnya dengan Fung Permadi. Lahir di masa keemasan tunggal putra rupanya tidak selamanya menguntungkan, itulah kira-kira yang dirasakan Fung Permadi. Berada di bayang-bayang pemain top dan merasa kalah bersaing membuat Fung Permadi mencoba untuk realistis. Tahun 1995 Fung pindah ke negeri seberang. Pilihannya jatuh ke Negara Taiwan, sebuah negara pulau di selatan Tiongkok. Di Taiwan, prestasi Fung Permadi perlahan mulai membaik. Di antaranya dia memenangi Hongkong open (1996), World Grand Prix Final (1996), Korea Open (1999) Finalis Kejuaraan Dunia 1999. Setelah berhenti bermain, Fung Permadi kini melatih di PB Djarum. Katanya, "Saya merasa terkesan, apabila anak didik saya dapat mengeluarkan seluruh kemampuannya pada pertandingan."
[caption caption="Mia Audina & Susi Sasanti, satu podium di olimpiade 1996 (foto:juara.net)Keterangan gambar: Tong Sinfu bersama Lin Dan, dua maestro beda zaman (kompas.com)"]
[/caption]
Di medio 1994, langit-langit Istora serasa mau rubuh. Setelah sekian lama, akhirnya Piala Uber kembali ke Nusantara, lewat partai dramatis Indonesia mengalahkan China 3-2. Pahlawan kemenangan kita, seorang remaja yang belum terkenal, dialah Mia Audina. Sejak saat itu, Mia digadang-gadang bakal menjadi penerus Susi Susanti. Anggapan itu rupanya akan menjadi kenyataan, di Olimpiade Atlanta 1996, Mia mempersembahkan perak, sedangkan Susi hanya meraih Perunggu. Selain itu Mia mampu meraih juara di Indonesia Open 1998 dan Japan Open 1997. Tahun 1997 di usia yang masih muda, Mia menikah dengan Tylio Lobman, lelaki Belanda. Dua tahun kemudian, Mia Audina pindah ke negeri kincir angin mengikuti sang suami. Di negeri barunya, prestasi Mia lebih kinclong. Mia sukses meraih perak di Olimpiade Athena 2004, juara Korea Open (2003), juara Japan Open (2004), Semifinal BWC 2003 dan yang tidak kalah hebatnya membawa tim Uber Belanda masuk final tahun 2004, sebuah prestasi terbaik tim beregu Belanda hingga kini. Setelah pensiun, Mia mengaku ada beberapa tawaran yang datang kepadanya untuk menjadi pelatih. Tidak hanya di Indonesia, tapi di luar negeri.
[caption caption="Tony Gunawan dengan latar bendera Star & Stripes (foto:bbc.com)"]
[/caption]
Tidak banyak atlet bulutangkis yang mengukir juara dunia dengan dua kewarganegaraan seperti Tony Gunawan. Hebatnya lagi Tony meraih banyak gelar juara dengan banyak pasangan yang berbeda, mulai dari Victor Wibowo, Chanda Wijaya, Halim Haryanto, Bob Malaythong hingga Howard Bach. Kala bermain di bawah Bendera Merah Putih, Tony Sukses meraih banyak gelar dari emas Olimpiade 2000, All England (1999), Juara Dunia (2001), dll. Selepas meraih emas Olimpiade 2000, tahun 2001 Tony berganti bendera dari merah putih menjadi Stars and Stripes milik USA. Sambil kuliah, Tony juga bermain bulutangkis untuk negeri barunya. Soal pilihannya kuliah ke USA, Tony pernah berujar, ”Semua gelar internasional di bulutangkis telah saya dapatkan. Berarti, obsesi tertinggi saya di dunia itu telah tercapai. Karena itu, saya ingin mengejar cita-cita di bidang lain,” ujar Tony.
Talenta Tony memang tidak diragukan. Berpasangan dengan ganda manapun bisa juara termasuk saat diduetkan dengan ganda Amerika, Howard Bach. Di kejuaraan dunia 2005, pasangan beda bangsa ini meraih juara, di partai final Tony yang berpasangan dengan Howard Bach sukses mengalahkan wakil dari Indonesia. Tampil di Arrowhead Pond, Amerika Serikat, Tony/Howard menang 15-11, 10-15 dan 15-11 atas unggulan Indonesia saat itu, Candra Wijaya/Sigit Budiarto. ''Saya berterima kasih kepada pelatih terbaik sepanjang hidup saya, Christian (Hadinata) serta pasangan saya, Candra (Wijaya) dan Halim yang membuat saya bisa menjadi sebaik sekarang,'' ujar Tony. Setalah sepuluh tahun bermukim dan membela USA, Tony memperoleh status kewarganegaraan.
***
Selain mereka di atas, masih banyak lagi anak bangsa yang bermain untuk negeri lain. Sebut saja Ronald Susilo, pemain yang mengalahkan Lin Dan di olimpiade 2004 yang kemudian memuluskan langkah Taufik Hidayat meraih emas bermain untuk Singapura. Ada juga Johan Adikusuma, adik dari Alan Budikusuma yang bermain untuk Hongkong dan masih banyak lagi.
Banyak yang meragukan nasionalisme mereka yang “membelot” ke negeri seberang namun apapun itu mereka pernah berjasa bagi negeri kita, mereka tetap anak bangsa yang saya yakin dihati mereka merah putih tetap selalu hadir. Kita perlu merenungi kata mantan pebulutangkis Indonesia, Hariyanto Arbi, "Negara lain memberikan jaminan seumur hidup kepada atletnya. Memberikan asuransi ketika sudah tidak menjadi atlet."