Lihat ke Halaman Asli

Indra Sastrawat

Wija to Luwu

Sekali Lagi, PNS Bukan Harga Mati!

Diperbarui: 24 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13914333041609487801

[caption id="attachment_320176" align="aligncenter" width="400" caption="Apel pagi PNS, sebuah pekerjaan yang masih menjadi idaman (foto:sekkab.go.id)"][/caption] Kisah para pemburu kursi pegawai negeri sipil bagai cerita dalam lakon kisah 1001 malam. Tak jarang kisah tersebut berakhir kimaks atau antiklimaks, semuanya campur aduk. Di negeri yang masih menjadikan pekerjaan abdi negara sebagai idola, mereka akan selalu berjuang dengan segala cara demi mendapatkan sebuah nomor induk yang kelak menjamin masa depan. Namun tak jarang perjuangan harus berakhir dengan kisah sedih. Seperti yang menimpa seorang warga di Bulukumba. Demi kursi PNS dia rela menyetor Rp. 300 juta hasil dari menabungnya kepada seseorang calo sebut saja R. Namun yang terjadi mimpi tidak selalu indah,ternyata R hanya penipu yang ingin memperdayai korbannya.

Padahal sudah banyak penipuan berkedok penerimaan PNS yang berhasil di ungkap, tapi hal itu tidak menyurutkan langkah para pemburu nomor induk untuk mencari jalan pintas. Biasanya mereka pencari jalan pintas berharap jatah lowong dari pejabat, entah benar atau tidak! Katanya para pejabat punya kursi kosong untuk keluarga atau koleganya! Parahnya banyak daerah secara finansial tidak cukup sehat untuk merekrut terus PNS. Apa jadinya jika 60% APBD  habis untuk memberi makan wargnya. Mungkin benar sindiran bahwa sebenarnya Indonesia adalah negeri sosialis terbesar di dunia. Bayangkan uang negara terkuras untuk subisidi Bahan bakar minyak (BBM) hingga penerimaan PNS melebihi ambang batas, dua contoh kemurahan hati pemerintah. Ini memang menyedihkan, rasio antara jumlah pengusaha dan jumlah penduduk kita masih sangat minim, jauh dari standar.

Ini sebuah anomali, di negara-negara maju peminat PNS justru sepi. Di Singapura misalnya generasi mudanya lebih senang menjadi profesional atau menjadi pengusaha. Begitu juga di Malaysia sampai Amerika Serikat, uang negara lebih banyak dipakai untuk belanja modal, membangun infrastruktur yang hebat seperti jalanan, pendidikan hingga rumah sakit. Dari uang negara mereka bisa membangun sarana pendidikan yang megah. Hingga anak-anak mereka menjadi cerdas dan mandiri. Sedangkan anak-anak kita tumbuh menjadi manja karena sudah terbiasa makan subsidi dan ketika selesai sekolah/kuliah pun mereka masih berharap mendapatkan gaji dari pemerintah.

Ada baiknya kita merenungi kisah pak Jusuf Kalla. Pada suatu hari JK yang baru selesai dari kuliahnya ditawari menjadi kepala Dolog di Makassar. Peluang JK sangat besar, pada masa itu jumlah sarjana masih minim. Tawaran menggiurkan karena JK di beri fasilitas rumah dan mobil mewah.  Saat itu, JK datang menghadap ke ibundnya, Athirah untuk menyampaikan maksudnya, apa jawab ibunda Athirah: "jadi perusahaan siapa yang mau atur? Kau mau apakan adik-adikmu? Apa kantor ditutup saja?. Sejak saat itu JK berubah pikiran dan fokus ke bisnis.

Apa jadinya seandainya JK menerima pinangan jadi kepala Dolog! Mungkin hari ini kita tidak akan mengenal JK sebagai saudagar dan negarawan yang hebat, mungkin juga tidak akan pernah hadir sebuah perusahaan besar di Indonesia Timur, PLTA Poso yang menyuplai energi di Sulawesi mungkin tidak akan pernah ada dll. Keputusan kita masa sekarang menentukan langkah kita di masa depan.

Saya ingat dulu ada keluarga yang sampai menjual tanahnya untuk bisa menjadi PNS. Bahkan ada teman yang sampai berurusan dengan calo sebanyak 3 kali untuk sebuah kursi PNS, walau akhirnya dia terangkat tapi orang tuanya sampai habis ratusan juta. Seorang rekan bercerita bahwa seorang pasien (sebutan untuk orang yang dijoki) harus merogoh koceknya sedalam minimal Rp. 50 -100 juta untuk mendapatkan jawaban soal CPNS, mereka baru dibayar jika si pasien benar-benar lulus. Ketakutan orang tua terhadap masa depan anak mereka yang mendorong mereka rela menempuh semua cara agar si anak diterima menjadi PNS. Letak persoalannya hanya karena faktor ketakutan terhadap masa depan, hingga mereka mau menggadaikan harga diri.

Kenapa tidak memulai menjadi pengusaha! Dengan uang sebanyak Rp. 300 juta, ada banyak bisnis bisa dijalankan. Resiko memang ada dua; gagal atau sukses, toh itu jauh lebih mulia dari menyuap dan menyogok. Apalagi ajaran agama menjelaskan semua penyuapan adalah haram, jadi harta yang dia makan selama jadi PNS adalah haram, lalu gaji tersebut dimakan sama anak dan keluarga, sudikah anda memberi keluarga anda makanan haram!

[caption id="attachment_320179" align="aligncenter" width="182" caption="Salah satu buku yang memotivasi untuk menjadi pengusaha (diditjaksotranggono.wordpress.com)"]

1391433625804113979

[/caption] Asumsi kedua, jika dari hasil menyuap sekian ratus juta tersebut dia bisa jadi PNS. Coba hitung berapa gaji PNS di daerah? Kita taksir gaji PNS golongan 3A sekitar Rp. 2,5 Juta sebulan lalu kita bagi Rp. 300 juta, maka didapatkan hasil 120 bulan atau 10 tahun. Jadi Break even point atau titik impasnya sekitar 10 tahun kemudian. Selama 10 tahun dia tidak lebih menggaji dirinya sendiri. Kalau tidak ingin BEPnya 10 tahun, yah ambil jalan pintas, main proyek dan buntutnya korupsi dan endingnya bisa masuk penjara.

Pernah suatu hari saya ditawari teman mendaftar PNS dan dia siap memberikan kunci jawabannya, kawan saya punya koneksi ke joki PNS waktu itu. Jawaban saya sederhana saja: maaf kawan, saya tidak tertarik makan uang haram. Bukan kah kita kerja untuk mengejar bahagia, lalu apa bahagia namanya jika memakan uang yang haram? Saya ingat di acara Kick Andy, menghadirkan tamu seorang bankir Arwin Rasyid, dia punya filosofi yang diperoleh dari ayahnya, katanya: Lebih enak tidur nyenyak dari pada makan enak. Maksudnya adalah buat apa makan enak jika tidur kita gelisah karena harta yang diperoleh dengan jalan salah, sebaliknya tidak masalah makan seadanya namun bisa tidur dengan nyenyak tanpa pernah risau dengan harta yang kita dapatkan dengan halal, sebuah filosofi yang sederhana namun  punya makna universal.

Yang punya tabungan puluhan hingga ratusan juta dan berharap jadi PNS dengan jalan pintas, saran saya pertimbangan resikonya baik dunia maupun akhirat. Ada baiknya mencoba membuka usaha/bisnis, mungkin berisiko tapi hasilnya lebih baik. Dan menjadi PNS bukan harga mati, tapi yang pasti kita semua akan mati. Dimana amalan kita akan diperiksa oleh Tuhan yang adil.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline