Lihat ke Halaman Asli

Indra Sastrawat

Wija to Luwu

Senjakala Garuda (Jas Merah)

Diperbarui: 17 Juni 2015   08:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="aligncenter" width="543" caption="Icuk Sugiarto (foto: skalanews.com)"][/caption]

Udara dingin Copenhagen Denmark tahun 1983 tidak menghentikan "perang saudara" Icuk Sugiarto melawan Liem Swie King di final kejuaraan Dunia Bulutangkis. Lewat pertarungan sengit, Icuk sukses menaklukan King. Prestasi yang akan selalu dikenang. Sepanjang decade 80-an Icuk Sugiarto merupakan andalan Indonesia di pentas Internasional. Ketika gantung raket, Icuk aktif di organisasi PBSI dan seorang putranya, Tommy Sugiarto kini menjadi andalan Indonesia. Loyalitas dan dedikasi Icuk atas bulutangkis tidak diragukan lagi.

31 tahun lewat sejak prestasi membanggakan, Icuk Sugiarto kembali terlibat "perang saudara", kali ini dengan pengurus pusat PBSI. Orang-orang yang dulu terpesona dengan kehebatan Icuk kini menjadi orang-orang dibalik lengsernya Icuk dari PBSI. Mereka tidak peduli dengan rekam jejak Icuk yang pernah mengharumkan nama bangsa ini. Icuk akhirnya di "smash" dari PBSI. Saya tidak yakin orang-orang di belakang PBSI ini benar-benar paham tentang bulutangkis, jangan-jangan mereka hanya numpang cari makan di PBSI. Kalau sudah begini pantas saja prestasi bulutangkis kita menukik tajam.

Nasib Icuk tidak jauh berbeda denga nasib Tong Sinfu, bahkan lebih tragis lagi. Tong Sinfu merupakan pelatih keturunan China kelahiran Lampung, Tong sukses mencetak beberapa pemain kaliber dunia semacam Alan Budikusuma, Ardy BW dan Haryanto Arbi. Tong Sinfu yang berjuang menjadi warga negara Indonesia (WNI) harus mengubur mimpinya karena pemerintah tidak pernah mengeluarkan selembar kertas sebagai pengakuannya sebagai WNI. Kisah Tong di Indonesia berakhir di tahun 1998 ketika permohonan WNI ditolak pemerintah. Kecewa dengan pemerintah dan PBSI, Tong Sinfu memilih kembali ke China dan menjadi pelatih disana. Dari tangan dingin Sinfu lahir pebulutangkis hebat Lin Dan. Anak-anak pertiwi tidak ada yang bisa menandingi kehebatan Lin Dan. "Waktu itu saya sudah berusaha mati-matian untuk menjadi WNI, tapi tetap tidak dikabulkan. Apa mau dikata," katanya.

Pada Asian Games 1962 di Jakarta, Gurnam Singh pelari tuan rumah sukses mempersembahkan tiga medali emas dari nomor 5.000 M, 10.000 M, dan Marathon. Atas prestasi hebatnya presiden Soekarno memberi 20 ekor sapi, dua mobil, serta sebuah rumah di gang Sawo Medan. Malapetaka terjadi ketika tahun 1972, pemerintah daerah menggusur rumah yang ditempatinya karena tidak memiliki Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Seharusnya pemda bisa sedikit memberi kebijakan tanpa perlu menggusurnya melihat Gurnam Singh pernah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional. Seakan negeri ini tidak peduli dengan prestasi olahraga anak bangsanya sendiri. Gurnam Singh peraih 3 emas Asian Games menjalani hidupnya dengan tinggal menumpang di kuil. Mungkin karena ini tidak ada lagi sprinter kita yang meraih tiga medali emas di Asian Games. Apa orang-orang Pemda ini tidak mengenal prestasi hebat Gurnam Singh! Atau prestasi olahraga dianggap sebelah mata!

Sebagian dari kita pasti masih mengingat peristiwa heroik di Rizal Memorial Stadium, Manila tahun 1991, ketika Garuda senior berhasil membawa pulang emas sepakbola. Dan itu adalah emas terakhir timnas Indonesia di pentas Asia Tenggara. Berkat raihan emas tersebut pemerintah memberi bonus Rp. 5 juta ke setiap pemain dan insentif gaji bulanan Rp. 100 ribu perbulan. Untuk ukuran zaman itu bonus terbilang tinggi mengingat gaji rata-rata pemain bola hanya Rp. 500 ribu perbulan. Yang menjadi masalah adalah insentif Rp. 100 ribu yang tidak mengalami perubahan hingga kini, seperti yang dakui oleh Karhartadi salah satu skuad Manila 1991 bahwa dia tetap menerima insentif tersebut tiap bulannya. Pemerintah atau PSSI mesti lebih bijak dengan menambahkan nilai insentif, minimal Rp. 1 juta sebulan untuk biaya hidup, apalagi sebagian besar skuad Manila 1991 sudah gantung sepatu. Masih beruntung yang meneruskan karir sebagai pelatih dengan bayaran tinggi, lalu bagaimana yang tidak sukses sebagai pelatih klub dan hidupnya pas-pasan seperti yang pernah dialami Peri Sandria.

Mereka yang pernah bersinar membawa nama bangsa dan negara, harusnya mendapatkan penghormatan yang lebih baik dari pemerintah dan induk organisasi masing-masing. Seperti Icuk Sugarto dengan loyaltasnya tidak layak untuk dipermalukan dengan pemecatan, atau Tong Sinfu harus mengemis-ngemis demi pengakuan sebagai WNI, Gurnam Singh harus merelakan rumahnya dirobohkan hanya karena masalah IMB, dan 22 skuad Garuda yang persembahan emasnya hanya diganjar dengan gaji Rp. 100 perbulannya. Empati dan penghargaan harus tetap kita berikan kepada mereka yang telah memperjuangkan nama bangsa di kancah internasional.

Pantas saja prestasi olahraga kita menukik tajam bak meteor yang jatuh ke bumi karena kita kurang menghargai pahlawan olahraga kita saat mereka sudah pensiun. Yang menyedihkan banyak orang yang tidak paham seluk beluk olahraga mencoba tampil bak pahlawan kesiangan. Kita mesti ingat petuah pendiri republik, Soekarno, katanya "Jangan sekali-kali melupakan sejarah-Jas Merah".

Salam




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline