Lihat ke Halaman Asli

Indra Sastrawat

Wija to Luwu

Membumikan Revolusi Mental Gaya Anies Baswedan

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14135916851484813499

[caption id="attachment_367262" align="aligncenter" width="560" caption="Seminar Revolusi Mental (foto:koleksi pribadi)"][/caption]

Orang yang dinanti-nanti akhirnya muncul, dengan setelan batik yang menawan, Anies Baswedan hadir menyapa ratusan peserta seminar bertajuk Revolusi Mental di Saoraja Ballroom Wisma Kalla, Jumat 17 Oktober 2014. Acaranya masih dalam rangkaian HUT ke 62 Kalla Group. Tidak butuh lama ruangan yang menampung 300 ratus peserta penuh sesak, sebuah atusias yang luar biasa.

Sebagai seorang sahabat pak JK, kedatangan Anies di Wisma Kalla seperti kedatangan seorang tamu ke rumah kerabatnya. Sebelum masa kampanye, pak JK sering bertemu dengan Anies di kampus Paramadina, tempat kerja JK di PMI berdekatan dengan kampus Paramadina, mereka sering bertemu di kantin membahas banyak persoalan bangsa. Selama kampanye kita sering mendengar jargon "Revolusi Mental", sebenarnya apa yang dimaksud Revolusi mental tersebut?

Dengan gaya bicara yang terunut dan pemilihan kalimat yang memukau, pak Anies coba mengurai makna revolusi mental bagi bangsa ini. Bagi Anies, keterlibatan orang-orang hebat dalam mengurus republik ini adalah sesuatu yang mutlak, jangan hanya jadi penonton. Rasa kepedulian atas masalah bangsa, diawali dari tingkat terendah yaitu RT, kapan terakhir kita datang mengikuti rapat RT? Sangat jarang warga yang peduli dengan RT nya, ketidakpeduian kemudian menular pada apatis atas pembangunan di sekitar tempat tinggalnya. Revolusi mental beranjak dari melibatkan semua elemen masyarakat untuk merasa memiliki Indonesia. Start small act now.

Korupsi akan musnah

Pilar dari pemberantasan korupsi sesungguhnya berada di keluarga, menjaga integritas uang hasil kerjaan benar-benar bersih dimulai dari menimbulkan kepedulian atas reski keluarga, pernah kita bertanya dan meminta ke suami atau istri kita,  jangan kasih makan kami reski dari hasil korupsi! Masalah terbesar bangsa ini adalah mental korupsi sangat tinggi, saya sendiri pernah suatu hari ketika kerja di perusahaan pelayaran, saya dipaksa untuk memberi tip ke salah satu staf di pelabuhan agar administrasi kapal kami beres, tentunya tanpa kuitansi.

Dahulu ketika mencuri dianggap hal memalukan bagi keluarga sehingga pencuri sering lari dari kampong menghindari malu terhadap keluarga, tapi kini dengan bangganya para koruptor membagi-bagika hasil korupsinya ke rekening istri, anak hingga kerabatnya, dan mereka merasa senang menerima uang dari hasil merampok. Bahkan pernah kejadian seorang koruptor yang telah bebas disambut di kampungnya bagai pahlawan.

[caption id="attachment_367264" align="aligncenter" width="480" caption="Anies Baswedan bersama kawan sebelum seminar dimulai (foto: Amril Arifin)"]

14135933332107702134

[/caption]

Budaya korupsi pada suatu waktu akan hilang dan para pelakunya merasa malu, ini sama dengan budaya rasis dan perbudakan. Sampai dekade 5oan, orang-orang yang membicarakan rasisme masih mendapat tepuk tangan namun kini orang yang bicara rasis akan mendapat cemohoan dari masyarakat. Begitupun perbudakan, dahulu perbudakan dianggap legal, orang boleh memperdangkan manusia, namun kini di zaman modern memiliki budak adalah sesuatu yang memalukan.

Dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia, dijelaskan peringkat Indonesia, sebagai perbandingan dalam hal inovasi negeri kita tidak kalah dari Eropa tapi dalam hal birokrasi kita setara dengan Negara di Afrika. Dari tata aturan, tata kelola dan tata laksana kita sudah miliki tapi manusianya tidak mampu menjadikannya sebuah realita.

Ayo Kembali ke Sekolah

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline