Lihat ke Halaman Asli

Indra Sastrawat

Wija to Luwu

Sisi Lain 23 Januari

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14220713531473188035

[caption id="attachment_392980" align="aligncenter" width="480" caption="Gambar:(memodog.blogspot.com)"][/caption]

23 Januari setiap  tahunnya, rakyat di tanah Luwu, Sulawesi Selatan selalu memperingati peristiwa heriok perlawanan rakyat semesta rakyat Luwu melawan Belanda dan sekutunya. Tidak banyak anak negeri yang mengetahui 23 Januari, orang lebih mengenal 10 November atau 1 Maret sebagai dua peristiwa heroik di negeri ini. Yang terjadi 23 Januari 1946, 69 tahun silam adalah sebuah persembahan darah dan keringat anak-anak Luwu atas negeri ini. Begitu hebatnya perlawanan rakyat Luwu sampai-sampai seorang sejarawan pernah berkata"jika 10 November tidak ada, maka 23 Januari paling pantas diperingati sebagai hari Pahlawan".

Dan kemarin, setelah melewati enam dekade dan Sembilan tahun peristiwa heroik diperingati dengan sangat sederhana di bumi Luwu Utara, jauh dari hingar bingar media sama persisi dengan perlawanan 23 Januari yang jauh dari telinga sebagian besar bangsa ini. Kesederhanaan tidak lantas menyurutkan memori kita akan suatu perjuangan melawan kedigdayaan, senjata mereka boleh modern tapi semangat anak-anak Luwu melebihi segalanya. Republik ini tetap membutuhkan para patriot dimedan juang yang berbeda.

Dan kemarin 23 Januari, disaat rakyat Luwu sedang bermelankolis dengan masa lalu, seorang pejabat Negara yang sederhana di tangkap atas nama hukum republik. Tidak perlu rumusan berbelit untuk menangkap sang pejuang anti korupsi tersebut, dengan dalil dan tuduhan yang sederhana dia diborgol lagi-lagi atas nama hukum. Namun dibalik itu ada skenario Tuhan yang hebat, Bambang Widjojanto beberapa saat sebelum penangkapan yang memekakan telinga pagi sedang mengantar anaknya ke sekolah dengan mengendari mobil Isuzu Panther.

Seorang pejabat negera dengan gaji puluhan juta masih mengihkaskan waktunya untuk anaknya, mobilnya pun bukan tipe pejabat negeri ini yang senang mengendarai mobil mewah sekelas Mercy atau Fortuner. Si anak pun tidak punya supir pribadi, sangat beda bagai langit dan bumi, disana seorang anak punya duit milyaran yang mampu mengeluarkan berpuluh-puluh BG yang siap dicairkan. Sebuah ironi di pagi hari. Harga sebuah idealisme memang sangat mahal, tapi Tuhan membayarnya kelak dengan mahal pula.

Dan terakhir, seorang raja yang super kaya dimakamkan dengan sangat sederhana tanpa nisan dan upacara yang mewah di padang pasir nun jauh disana, namanya Raja Abdullah, sang petrodollar yang kekayaannya tidak habis sampai tujuh turunan. Ketika hidup konon sang Raja hidup dengan bergelimang harta namun ketika mati tak satupun harta itu ikut menemani sang raja.

Sangat ironi dengan pejabat negeri ini, ketika dia wafat, dia disambut dengan upacara yang mewah, ratusan juta uang melayang. Tidak jarang dia pergi meninggalkan setumpuk berkas korupsi yang belum tuntas serta berton-ton emas yang didapatinya dengan memalak sana-sani. Padahal telah banyak fragmen kehidupan yang bisa dijadikan inspirasi. Jalanilah hidup dengan ikhlas dan sederhana, sebuah uangkapan indah berbunyi" Waktu kamu lahir, kamu menangis dan orang-orang di sekelilingmu tersenyum. Jalanilah hidupmu sehingga pada waktu kamu meninggal, kamu tersenyum dan orang-orang di sekelilingmu menangis". Jangan ketika wafat, orang-orang gembira, karena koruptor telah kembali ke Tuhan-Nya membawa berton-ton catatan korupsi yang luput dan bebas karena duitnya cukup untuk bayar sana sini. Dan keadilan Tuhan jauh melebihi hukum manusia.

23 Januari adalah sebuah kesederhanaan yang penuh ironi, yang menjadi pelajaran buat kita. Setahun kemudian peristiwa diatas akan kembali dikenang dengan cara yang berbeda.

Salam

activate javascript




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline