"Kenapa tidak bertani saja, Nak?" Tanya Bapak kala itu. Selama ini pekerjaan Bapak memang hanya mutlak sebagai petani. Walaupun sawah Bapak tak luas-luas amat, tapi dari sawahlah beliau mampu menghidupi keluarga, bahkan mampu membiayai sekolahku hingga tamat SMA. Pekerjaan menggarap sawah memang membutuhkan tingkat kesabaran yang luar biasa. Bayangkan saja, dalam satu tahun hanya mampu panen padi dua kali.
Sedang zaman sekarang ini kebutuhan tak sama dengan generasi masa Bapak, pikirku."Tenang, Pak. Aku yakin usaha buka toko akan sukses," ucapku untuk meyakinkan Bapak. Aku tetap bersikukuh ingin membuka usaha berdagang. Membuat toko kecil-kecilan dan itu butuh biaya sebagai modal.
Hanya ada satu pilihan, ialah menjual sebagian sawah. Sebagai anak tunggal dari kecil kebutuhan dan keinginanku memang sering dituruti, hingga kini saat aku membutuhkan modal usaha membuka toko mau tak mau akhirnya Bapak menjual setengah dari sawah miliknya.
Bapak sudah tua dan beliau sering sakit-sakitan. Aku tak tega melihat beliau kesehariannya berada di sawah terpanggang terik petala mayapada dan hasilnya juga tak seberapa. Sedang salah satu temanku yang hanya memiliki usaha warung di kota saja--tanpa memiliki sawah--ia bisa meraup untung yang lumayan. Dalam satu hari bisa mendapatkan laba bersih lebih dari tiga ratus ribu. Bekerja di sawah? Ah, cuma dapat lelah.
Seminggu kemudian setelah setengah petak sawah terjual, aku telah mengantongi uang yang lebih dari cukup untuk modal. Kini sawah keluarga kami tinggal setengah bahu. Uang hasil menjual sawah pun aku gunakan sesuai tujuan: membeli material bangunan, mengerjakan tukang bangunan dan setelah toko jadi aku isi dengan jenis dagangan yang menjadi kebutuhan pokok masyarakat sekitar--sembako.
Beberapa bulan tokoku buka disambut antusias oleh masyarakat. Daganganku lumayan laris. Memang rata-rata barang yang aku jual lebih murah dari toko yang lain. Aku tak mengambil untung banyak-banyak, tapi di satu sisi uang hasil berdagang hanya habis berputar untuk membeli dagangan lagi. Dan itu berlanjut hingga hampir setengah tahun.
Di bulan ketujuh berikutnya aku ingin membesarkan toko, tapi uang hasil untung dari berdagang tak cukup. Kesimpulannya aku mencoba untuk meminjam pada bank dengan jaminan seperempat bahu sawah. Walaupun awalnya Bapak tak setuju, tapi setelah aku mati-matian membujuk akhirnya beliau mau.
Kini tokoku bukan lagi toko kecil-kecilan seperti semula. Beberapa macam dagangan tak hanya sembako pun telah tersedia. Namanya di kampung pedesaan sebesar apapun toko tetap saja yang membeli tidak seramai toko-toko di perkotaan besar yang padat penduduk banyak orang. Sedikit dapat untung istilahnya hanya pak-puk habis lagi untuk membeli dagangan baru. Aku berpikir keras, tapi belum juga aku jumpai apa itu solusi.
Bulan ke sembilan. Pembeli yang datang ke tokoku ajeg seperti dulu. Keadaan mulai tak stabil. Sebagian uang laba hanya lari untuk setoran menutup pinjaman di bank. Daganganku tak lagi lengkap membuat pembeli pun mulai berkurang. Selain itu banyak pula orang-orang yang mendirikan toko baru. Persaingan dalam perdagangan pun semakin terasa.
Satu tahun setengah aku membuka toko dengan mengorbankan sawah milik orang tua. Kini, tokoku benar-benar di ambang gulung tikar. Dan ternyata benar, aku bangkrut, toko tutup, hutang masih menumpuk. Benar-benar aku stres, Tuhan. Orang tua mana yang tega melihat anaknya kelimpungan dalam impitan hutang, akhirnya Bapak menjual 200 ubin sawah untuk menutupi hutang-hutangku beserta bunganya di bank. Kini sawah Bapak hanya tinggal sepetak berukuran 50 ubin. Aku merasa bersalah pada Bapak dan merasa gagal dalam mencapai kesuksesan yang dulu aku gadang-gadangkan.
"Tak apa, Nak. Lagian harta, sawah, pekarangan dan apapun toh semuanya hanya titipan dari-Nya," jawab Bapak suatu malam saat aku meminta maaf padanya.