Lihat ke Halaman Asli

Islah oodi

Wong Ndeso

Pelarian

Diperbarui: 17 Februari 2021   20:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Diam di tempat!" Baron terkejut setengah mati. Sekitar jarak dua puluh meter dari dirinya yang kini sedang melakukan transaksi dengan pembeli barang haram, beberapa orang berseragam sudah memergoki. Tanpa aba-aba Baron berlari sekuat tenaga kabur dari tangkapan polisi. Ia tak peduli dengan si pembeli yang mungkin kini ditangkap dan sedang digelandang bak hewan, yang ada dalam pikiran Baron hanya bagaimana agar ia selamat."Berhenti!" Teriakan dari jauh terdengar bersamaan dengan lepasnya peluru ke udara tanda peringatan. Tapi Baron tetap terus berlari menyusuri gang perumahan sempit yang gelap.

"Bangsat! Sial ... Tolong aku, Tuhan." Baron menggerutu kesal. Ia tetap terus berlari. Beberapa kali suara tembakan peringatan terus terdengar jauh dari belakang. Baron tak peduli. Ia terus berlari ... Terus dan terus berlari. Terngiang-ngiang dalam benaknya sang istri yang kini mengandung tua, mungkin beberapa hari lagi istrinya melahirkan dan ia harus punya uang untuk biaya melahirkan istrinya.

"Jika aku selamat, Tuhan, aku tak akan melakukan pekerjaan haram ini lagi." Ia menggerutu kembali. Andai satu bulan yang lalu ia dapatkan pekerjaan, mungkin ia tak akan terjerembap pada perdagangan barang haram. Beberapa kali Baron mencari pekerjaan tak juga ada yang mau menerima menggunakan jasanya.

Pernah Baron bertanya kerja sebagai kuli bangunan pada temannya, si Romy. Tapi katanya proyek lagi sepi. Ada juga lowongan kerja yang Baron cari lewat grup-grup di media sosial, tapi persyaratannya minimal harus lulus SMA atau sederajat. Sedang ia hanya lulusan Sekolah Dasar, jelas tidak akan diterima. Ada yang tidak dengan persyaratan lulusan sekolah, tapi di luar pulau. Tak mungkin ia tinggalkan istrinya yang sedang mengandung tua ditinggal merantau jauh.

Tenaga Baron terkuras. Kakinya yang sedari tadi berlari mulai terasa lemas. Jauh dari belakang suara teriakan polisi masih terus mengikuti. Baron membelokkan larinya ke gang sempit yang lain. Aduh! Apes ... Ternyata buntu. Hanya ada bangunan rumah yang belum selesai dikerjakan, lebih baik sembunyi di situ, mungkin aman.

Kini Baron telah masuk. Matanya jelalatan ke sana-kemari mencari tempat sembunyi, "Tak ada yang strategis," pikirnya. Lalu ia naik ke loteng bagian atas yang masih berupa dak beton bersembunyi di balik tumpukan material bangunan. Suasana gelap sebab memang tak dipasangi lampu. Mata Baron melihat ke langit, terlihat kelap-kelip cahaya bintang menghiasi cakrawala malam.

Baron ngos-ngosan, napasnya tak karuan. Ada rasa takut, kesal, lelah bercampur dalam diri. Benar-benar kini ia menyesal. Jika selamat, ia akan menemui Bonang bandar barang haram sebagai juragannya dan pekerjaan laknat ini akan ia sudahi. Hasil uang pekerjaan sebagai pengedar barang haram nantinya lebih baik untuk pulang kampung dan untuk biaya melahirkan istrinya.

"Andai aku dapat memutar waktu, aku tak akan mau mencari uang dengan cara seperti ini," keluhnya dalam batin. Tapi bagaimana dengan kebutuhan keluarga? Mau meminjam uang pada si Parno tetangga kampung yang sama-sama merantau pun tak bisa sebab tiga bulan yang lalu ia sudah berhutang untuk membayar kontrakan juga Parno hanya bekerja sebagai kuli bangunan sama seperti dirinya. Mau pulang kampung juga butuh ongkos perjalanan.
***
"Udahlah daripada bingung lebih baik kerja sama dengan saya saja," ucap Bonang kala itu.

"Tapi aku takut. Nanti ke tangkap polisi."

"Makanya hati-hati. Lihat saja si Brodin udah hampir satu tahun mengedarkan barang-barangku. Buktinya aman-aman saja kan? Untungnya gede loh" Si Bonang meyakinkan.

"Berapa untungnya?" Tanya Baron.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline