UUhhh... setelah bertubi-tubi mendengar, melihat, dan membaca berita-berita yang tidak mengenakan, bikin mumet aja.. mending sekarang bercerita yang ringan saja lah.... Suatu ketika, dosen saya tertawa ngakak menertawakan ku. "Kamu sudah berapa kali ke Pangandaran?", dia bertanya, tentunya dalam bahasa Jerman. "Mmmm...", aku pun sedikit malu untuk menjawab. Maklum, dia sudah tahu kalau rumahku di Tasikmalaya, dekatlah dengan Pangandaran. "Saya baru sekali pak, kemarin pas liburan summer!", disertai sedikit senyum malu dari saya seperti emoticon :D. "Hahahahah..", dia pun sontak tertawa lepas menertawai ku. Belum pernah saya lihat bule Jerman tertawa seperti itu, dosen lagi... ckckck... enak ya ngetawain orang! ( mmm... apa teman2 kompasianers juga sedang menertawakanku saat ini? awas ya..! :) ) [caption id="attachment_119834" align="aligncenter" width="500" caption="pasir putih, pangandaran /own pict."][/caption] [caption id="attachment_119855" align="alignright" width="200" caption="monyet agresif @pangandaran /own pict."][/caption] Cerita pun berlanjut. Dia sudah beberapa kali liburan ke Indonesia, dan sudah 2 (atau 3) kali liburan ke Pantai Pangandaran. Dia mencoba mengingat kembali keadaan disana -- ada tempat melihat sunrise dan juga sunset, banyak 'monyet' yg diucapkannya dalam bhs Indonesia, tempat makan yang enak, dsb -- dan juga letaknya yang berada di Ciamis, pokoknya dekat ke Bandung katanya. Maklum, Bandung itu kota favoritnya di Indonesia, yang dia bandingkan dengan Surabaya dan Jakarta yang sangat panas dan tidak nyaman. Tak sampai disitu. Pembicaraan pun bergeser ke timur: Jogja, Jawa Timur dan Bali. Dia sebutkan objek2 wisata yang pernah dia kunjungi, Jogja, Bromo, Kuta, dll. Aku pun semakin ciut dibuatnya. "Jangan tanya lagi pak!", bisik ku dalam hati. Eh... dasar bule... (hehe.. ) dia tanya lagi.. "Kamu pernah kan kesana?". dooorrr! skak mat!!.... "Belum pak!", haduh2.. kalah telak saya.. hikkkss^^. Tak ayal, dia pun kembali menertawaiku dengan nikmatnya. Tak aku biarkan itu berlangsung lama. Siapa juga yang mau diketawain?! Langsung saya jelaskan mengapa hal itu terjadi. Saya katakan, tidak seperti disini pak, anak-anak disini bisa berwisata kemanapun dia mau. Tinggal tunggu waktu liburan, terus berwisata ke penjuru dunia. Kalau di kami itu pak, jangankan mau wisata, mikirin biaya hidup sehari-hari dan biaya kuliah saja, kami harus banting tulang mencari penghasilan sampingan sewaktu kuliah. Mayoritas penduduk Indonesia itu tinggal di pedesaan, dengan kondisi perekonomian menengah ke bawah. Kalaupun mereka bisa sampai kuliah di kota, itu karena perjuangan mereka yang tidak mudah. Banyak yang menjual sawah ladangnya, atau menjual perhiasan warisan orang tuanya. Disela-sela kuliah, banyak yang sambil berbisnis. Ada yang berjualan donat di kelas, jualan pin, atau bisnis orderan, baik fotokopi, baju, dan aksesoris lainnya. Sore harinya mereka harus nge les, memberikan materi tambahan bagi anak-anak sekolahan. Pulang di kosan malam hari, sisa tenaga seadanya untuk mengerjakan tugas kuliah dan laporan2 lab yang aduhai menumpuk. Tidak sedikit yang seperti itu, pak!. Aku teruskan pidato ku itu. Meskipun banyak orang yang mampu, berkecukupan, bahkan serba mewah, tapi lebih banyak lagi orang yang serba kekurangan. Bahkan, jangankan untuk sekolah, untuk mencukupi kebutuhan pokok harian saja melaratnya bukan main. Jadi jangan heran kalau banyak orang kami sendiri yang tidak pernah berwisata, ke Bali misalnya. Atau tidak pernah naik pesawat terbang sekalipun. Bagi sebagian besar anak-anak kami, itu semua hanyalah mimpi belaka. Karena memang kondisi yang tidak memungkinkan. "Ayo ketawa lagi klo berani!", cerocos ku dalam hati. Tapi, meskipun begitu pak, banyak dari mereka yang tetap semangat sekolah. Bahkan hingga ke perguruan tinggi, terus bekerja, ataupun meneruskan kuliah ke luar negeri, dengan beasiswa tentunya. Setelah sukses, biasanya mereka tidak lupa untuk membangun desanya, membantu tetangga-tetangga nya yang kesulitan. Aku akhiri 'pidato' ku sampai disana. Penutup cerita yang cukup bagus bukan? :) Dan, memang saya yakin tidak sedikit yang seperti itu. Orang yang selalu menolong saudara-saudaranya. Mereka tidak merasa sukses kalau hanya cukup untuk pribadi, tapi sukses itu ketika sudah mengajak orang lain sukses dan hidup dengan layak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H