Pada suatu masa disebuah desa terjadi sebuah ketegangan emosional, antar warga antar tetangga saling curiga. Ternyata itu semua karena di desa tersebut akan diselenggarakan pemilihan kepada desa (Pilkades).
Pemilihan kepala desa atau pilkades merupakan salah satu bentuk pesta demokrasi yang begitu merakyat. Pemilu tingkat desa ini merupakan ajang kompetisi politik yang begitu mengena kalau dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran politik bagi masyarakat. Pada moment ini, masyarakat yang akan menentukan siapa pemimpin desanya selama 6 tahun ke depan.
Dalam prakteknya pilkades bisa lebih panas persaingannya daripada pilkada maupun pilpres. Sebelum dilaksanakan pemilihan antar tim sukses sudah saling mencurigai warga, missal warga A dicurigai sebagai pendukung calon lain dan sebaliknya. Dalam kampanyenya juga lebih panas daripada pilpres. Seorang calon dengan didampingi tim suksesnya akan blusukan sosialisasi ke warga dengan ikut jamaah pengajian rutin atau pertemuan warga rutin, misal yasinan, kelompok pemuda dan juga rombongan RT nan.
Khusus untuk yang masuk ke ranah RT biasanya lewat acara mujahadah rutin yang tiap minggunya diselenggarakan biasanya setiap malam jum'at. Calon dan timses ikut nimbrung diacara tersebut meminta doa restu dan dukungan. Selain itu juga ada yang gerilya menemui per rumah. Bahkan dipilkades juga tak lepas dari money politik, karena ada peran Botoh dibelakangnya. Botoh adalah semisal Bandar judi atau taruhan pilihan kepala desa.
Misal ada dua botoh, botoh yang satu bertaruh sekian juta untuk kemenangan calon A, sedangkan botoh yang lain memasang taruhan untuk kemenangan B. Biasanya para botoh akan memodali para calon untuk meraih suara sebanyak-banyaknya tapi tentunya dengan main money politik. Uang itu dibagikan ke warga agar warga tersebut memilihnya. Uang itu kadang bukan murni dari si calon tapi dari Botoh.
Misal Botoh bertaruh 500 juta maka akan memodali calon 100 juta, kemudian dana 100 juta itu buat kampanye entah itu dibagi-bagikan ke warga atau yang lain dengan istilah membeli biting. Kalau calon tersebut bisa menang maka untunglah si botoh dengan berlipat-lipat meski mengeluarkan modal 100 juta karena keuntungan bersihnya dia dapat 400 juta itu kalau 2 botoh. Kalau tiga botoh ya dapat 500 juta kali dua sama dengan 1 milyar dan hanya kelong 100 juta. Bayangkan kalau lebih dari tiga botoh, coba dihitung sendiri.
Efek dari itu semua yang jadi korbannya adalah warga. Antar tetangga saling curiga karena beda pilihan dan bahkan lebih parahnya lagi antar saudara keluarga juga seperti itu. Bahkan sampai pilkades selesai kadang masih dan pasti menyisakan dendam, serta member skat antar warga kalau dia dukung A dan dia dukung B.
Kenapa begitu panas? Karena itu berkaitan langsung dan berbenturan langsung antar warga sekitar yang lebih kompleks, jadi tiap hari menyapa, kadang timbul ewuh pekewuh dan sebagainya. Beda dengan pilkada maupun pilpres, para warga bebas memilih tanpa rasa ewuh pekewuh dan pola piker orang desa kalau pilkada dan pilpres itu orangnya jauh dan tidak pernah ketemu atau sering duduk-dudukan ngobrol jadi satu setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H