Teman saya namanya Syarif. Dia orangnya sangat periang. Tapi kali ini menjadi murung. Kalau saya membuka pembicaraan, dia menangapinya seadanya saja. Paling menjawab Ya, ndak tahu, menggelengkan kepala.
Saya sengaja mengajaknya ke kantin kampus. Sambil menikmati teh hangat, saya bertanya : apa sih masalahnya sehingga kamu belakangan ini berobah. Selalu wajahmu murung. Coba kamu ceritakan, siapa tahu saya bisa membantu.
Awalnya enggan dia menceritakan masalahnya. Setelah saya desak, akhirnya dia menceritakan.
“Begini nah. Saya selalu dimarahi ibu saya.”
“Ia lah biasa saja kalau dimarahi orang tua. Kenapa sampai bisa diambil hati. Kan orang tua pasti bermaksud baik.”
“Bukan sesederhana itu Nurdin. Masalahnya , ibu marah-marah dsiebabkan kelalaian saya dalam melaksanakan apa yang disuruh ibu.”
“Makanya kalau disuruh, ya.. jangan lalai. Harus cepat diselesaikan. Sedangkan tugas dari dosen saja, kalau kita tidak kerjakan, pasti dosen marah. Kan begitu?”
“Yang menjadi masalah, apa yang disuruhkan kepada saya itu sangatberat.”
“Apa tugasnya ? “ Saya bertanya. Saya semakin tertarik. Apa sih tugas yang dianggap Syarif terlalu berat.
“Gini nah. Masak sih saya disuruh memata-matai ayah saya sendiri. Yang dimatai-matai soal isteri simpanan ayah. Ibu mendengar desas desus bahwa ayah memiliki isteri simpanan . Ibu tidak mau bertindak sebelum ada bukti. Nah saya pula yang disuruh urusan yang ndak masuk akal begitu. Setiap saya ditanya, ya.. saya jawab bolak-balik, ini itu dan segala macam alasan . Intinya bahwa saya tidak mengerjakan sesuai apa yang diperintahkan ibu. Dan agar kamu tahu bahwa ibu yang kamu anggap adalah ibu kandungku itu sebenarnya adalah ibu tiri. Saya anak dari isteri kedua dari ayah. Sekarang sudah cerai. Anak kandung ibu, maksudnya kakak-kaka saya sudah berumah tangga semuanya dan semuanya ada di perantauan . Hanya saya sendiri yang menemani ibu, masih sejak usia lima tahun. Dan memang saya tidak pernah merasakan perlakuan seperti anak tiri kayak yang di film-film atau cerita novel. Bahkan ibu tidak pernah menceritakan kepada tamu-tamunya bahwa saya anak tiri. Kalau ada yang bertanya, ibu saya jawab dengan ketus : ya anak kandung saya, mengapa ?
“Nah, sekarang saya mau tanya Rif. Apa kamu percaya bahwa ayahmu memiliki isteri simpanan ? “
“Nah itu juga masalah. Kan ayah kalau pulang kantor sudah sibuk mengurus kebun kembang, berhadapan dengan komputer, membaca. Urusan keluar daerah diserahkan kepada anak buah. Jarang sekali ayah keluar rumah. “
Besoknya saya membujuk Syarif agar mau ikut lari subuh. Awalnya Syarif enggan.
Saya bilang : “ sekali-sekali lari pagi lah. Kan untuk kesehatan. Dan kalau subuh rame sekali. Mulai dari yang tua sampai yang muda berlari pagi mengitari lapangan di depan bundaran . Ada juga banyak cewek cantik yang lari pagi.
“Nah, itu ayahmu menuju kesini. Kita sembunyi, jangan sampai ayahmu melihat kita.” Kata saya kepada Syarif
‘Lho katanya mau lari pagi. Kenapa pula harus sembunyi. Biar saja. Apa urusan dengan ayah. “ Jawab Syarif
“Nanti tidak begitu lama ayahmu akan lari ke arah timur. Nanti kita ikuti dari belakang. Kita atur jarak saja agar tak ketahuan.”
“Kita ini mau lari pagi atau umpet-umpetan. Apa sih maksud kamu Nurdin.” Sayarif semakin bingung saja
“Kamu tenang saja. Nanti kamu akan menemui jawaban atas semua kebingunganmu. Kamu ikuti apa yang saya katakan.”
Saya dengan Syarif berlari mengikuti dari belakang dimana ayah Syarif dengan sepatu putih dan baju kaos lengan panjang berlari menuju arah timur.
“Nah,coba kamu perhatikan. Itu kan ayahmu berbelok di rumah sebelah kanan yang ada tiang listrik di depannya. Mudah-mudahan ada tempat bisa kita istirahat disitu.”
Kebetulan sekali ada warung jualan nasi kuning di depan rumah yang disinggahi ayah Syarif.
“Oh ia kebetulan kita makan nasi kuning dulu.. “ Syarif semakin bingung.
“Kamu bilang mau lari pagi. Sekarang kita malahan hanya makan nasi sambil mengamati rumah orang. Urusan apa macam begini.” Kata Syarif.
“Kamu tenang saja.”
Sejam kemudian ayah Syarif keluar dari rumah mungil diantar oleh seorang perempuan muda, cantik lagi, berusia sekitar 30-an. Pakai cium pipi kiri dan pipi kanan lagi. Pemandangan itu disaksikan oleh Syarif. Saya lihat wajah Syarif menjadi merah padam.
“Nah, kamu sudah mendapat jawabannya kan.”
Wajah Syarif semakin merah padam. Kami pun kembali naik taksi. Syarif tidak mau pulang langsung ke rumahnya. Dia bermaksud ke rumah kost-ku dulu. Selama di taksi, Syarif tidak pernah bersuara. Dia diamterus. Saya pun tidak mau menganggunya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H