Mobil-mobil di depan sana belum sempurna berhenti saat pintu-pintunya dibuka hampir serempak, lalu orang-orang di dalamnya berhamburan ke luar, berjalan cepat nyaris berlari memasuki Terminal VIP Bandara El Tari.
Jam digital di ponsel menunjukkan pukul 17.17 waktu setempat. Para juru tulis (wartawan dan blogger) yang mobilnya selalu berada di urutan buncit, tak mau kalah sigap menyusul orang-orang di depannya dengan tas ransel di pundak dan semua alat perang di medan liputan yang memenuhi kedua tangan.
Harus saya akui, semua insan dalam rombongan ini bergerak sangat cepat. Wuzz, wuzz… Kalah deh arus manusia yang saya nikmati di hampir semua stasiun bawah tanah di Tokyo, enam tahun lalu.
Tidak ada waktu untuk berhenti di dalam gedung terminal. Semua anggota rombongan melancar ke landasan terbang yang waktu itu, Senin 28 Desember 2015, khusus dialokasikan untuk keperluan kunjungan presiden di Kupang. Udara masih cerah, panas matahari yang sedang bergerak ke ufuk barat masih terasa menyengat, berusaha menambah peluh keringat yang lama mengendap di balik setelan batik lengan panjang dan celana bahan hitam.
Begitu keluar gedung bandara yang tidak begitu luas, pesawat Boeng 737-800 berwarna biru muda pada bagian punggung dan putih pada bagian lambung parkir manis di depan sana. Mata berbinar-binar. Hati berbunga-bunga. Seketika itu, saya langsung teringat foto yang saya unggah ke Instagram @iskandarjet, sehari sebelumnya: “Sore tadi ketemu dia. Besok sore pulang bersamanya.”
Akhirnya saya berkesempatan naik pesawat presiden.
Saya tidak sempat memperhatikan Presiden Jokowi dan Ibu Negara naik. Mata ini fokus menatap tangga di pintu masuk belakang. Saat kedua kaki menapaki anak tangga, saya masih tidak percaya pesawat yang akan saya masuki adalah pesawat pertama berjuluk Indonesia One yang akhirnya dimiliki republik ini setelah 69 tahun merdeka.
Rasa letih berlipat yang saya rasakan sepanjang dua hari mengikuti kunjungan kerja presiden di NTT sekejap silam begitu pandangan mata menatap deretan kursi penumpang berbalut kulit warna coklat muda. Udara sejuk dari pendingin udara menelan begitu saja rasa lengket di sekujur badan yang sudah tidak keruan baunya. Lalu saya lihat nama yang menempel di kursi penumpang itu: Sdr Iskandar Zulkarnaen.
Aha, tiket saya sudah nempel di situ!
Setiap tempat duduk di pesawat ini memang sudah ada namanya pada bagian atas sandaran bangku. Maklumlah, penumpang kan tidak perlu bawa boarding pass saat naik ke atas. Jadi identitas penumpang sudah ditempel di situ.
Setelah meletakkan tas ransel pada tempatnya, saya menikmati corak anyaman pada sandaran kursi, bantal coklat mungil dan selimut merah terlihat manis. Tempat duduk saya ada di tengah, sisi kiri pesawat, baris ketiga dari belakang. Hmmm… Ini bukan tempat duduk favorit buat saya yang suka melihat awan bergelayutan di udara.