Notifikasi pesan masuk yang belum saya baca di grup WhatsApp itu sudah mencapai 200 lebih. Banyak juga. Padahal biasanya saya selalu menyempatkan diri menyimak isi percakapan di dalamnya.
Grup itu berisi kumpulan pegiat, akademisi, profesional dan pemerhati lintas bidang. Dalam perjalanan pulang ke rumah semalam, saya menyempatkan diri membaca-acak isi pesan yang mengalir di linimasa grup sambil menyapukan jempol ke bawah dan sesekali berhenti di pesan yang menarik perhatian.
Salah satu yang menarik perhatian adalah berkas pdf berjudul lampiran surat fatwa. Wah, ada fatwa MUI baru, nih. Gumam saya dalam hati. Dan benar saja. File itu berisi salinan digital “Fatwa tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial”. Saya membayangkan, proses penyusunan poin-poin di dalamnya melibatkan para praktisi media sosial dan komunikasi digital yang paham kondisi dan peta interaksi di dunia maya.
Pikiran saya langsung terbang ke fatwa terheboh MUI yang menyebut Gubernur Ahok telah menghina al Quran dan atau menghina ulama saat menyitir surat al Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu. Kita semua tahu drama panjang yang berlangsung sebelum dan setelah fatwa itu keluar.
MUI pun dituduh jadi dalang instabilitas. Namun MUI, lewat pernyataan Ketua Dewan Pertimbangan MUI Din Syamsuddin, yakin sumber instabilitas nasional adalah kejadian di Kepulauan Seribu.
Setelah selesai membaca-cepat isi fatwa bermedsos setebal 20 halaman, saya langsung menangkap kesan istimewa dari fatwa termutakhir itu. Fatwa ini masih satu nafas dengan Surat Edaran Kebencian yang pernah diterbitkan pemerintah. Juga sejalan dengan gerakan #TurnbackHoax yang sampai saat ini masih bergulir di mana-mana.
Selain soal momen yang pas, isi fatwa tertanggal 13 Mei 2017 itu juga terbilang istimewa, karena disertai dengan pedoman bermedia sosial buat netizen muslim.
Nampaknya, fatwa ini akan mendapat sambutan positif dari para pengguna media sosial, tak terkecuali para penggiat medsos, akademisi, pendidik, orang tua dan pemerintah. Bukan hanya dari kalangan muslim, tapi juga dari netizen beragama lain yang melihat isi ketentuan dan panduan di dalamnya memang dibutuhkan sebagai panduan ummat beragama dalam berinteraksi secara digital.
Fatwa ini mengatur kegiatan bermuamalah (interaksi antar-manusia) umat Islam di ranah digital yang sebagian besar cakupannya masuk ke wilayah publik. Tidak hanya antar-muslim, tapi juga antar-umat beragama lainnya, plus antara muslim dan pemerintah.
Penekanannya ada pada sebaran konten tidak sehat dan merusak. Tidak hanya konten tipuan (hoax) dan informasi yang salah (miss-leading dan miss-context), tapi juga fitnah, gosip, ghibah, pemutarbalikan fakta, ujaran kebencian, serta konten permusuhan.
[caption caption="Infografis Fatwa MUI Bermedia sosial (MUI)"]
[/caption]