Lihat ke Halaman Asli

ISJET @iskandarjet

TERVERIFIKASI

Storyteller

Ramadan, Aku Malu...

Diperbarui: 22 Agustus 2017   14:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aditya Wicak/Pixabay.com

Ramadhan, kau datang lagi. Setahun lebih tak bertemu, seakan yang dulu baru seminggu berlalu.

Aku malu. Terakhir ku melepasmu pergi, aku tidak lulus sama sekali. Semua ujian yang kau beri, ku lewatkan tanpa hasil gemilang. Puasaku ala kadarnya. Ibadahku biasa-biasa saja. Dosa-dosaku pun tak berkurang dari bulan-bulan sebelumnya.

Tahun lalu, tak ada prestasi yang aku raih. Bahkan aku terlalu malu untuk sekedar melihat nilai raport dari mu, untuk ujian setahun lalu. Hasilnya sedemikian melekat dalam ingat.

Hari pertama ku bersamamu begitu menggelora. Ku kerjakan banyak ibadah. Ku baca al Quran sampai terasa kering air ludah, sampai terasa letih nafas di dada. Ku kerjakan shalat Dhuha dan Tahajjud. Ku gelar sejadah untuk dua rakat sunnah, setelah dan sebelum shalat wajib berjamaah. Ku datangi masjid manapun yang dapat ku datangi.

Sambil bekerja, ku berusaha maksimal mendekatkan diri kepada Mu, Ya Allah. Ku kerjakan semua ibadah sampai sahur berikutnya tiba.

Tapi kinerja ibadahku di hari-hari berikutnya sepanjang Ramadhan tahun lalu tak pernah sebaik hari sebelumnya. Konstan pun tidak. Sama pun tidak. Hari demi hari, semakin menunjukkan penurunan. Jumlah ibadah yang ku kerjakan berkurang. Bobot kekhusyuan dan keikhlasanku terjun bebas.

Aku masih lebih sering terpenjara kesibukan dunia. Aku masih disibukkan menyusun alasan untuk tidak beribadah seperti hari sebelumnya. Aku masih egois. Aku masih riya. Aku masih belum cukup beriman pada ganjaran pahala berlipat-lipat untuk setiap ibadah di bulan Ramadhan.

Dan saat minggu terakhir tiba, aku bahkan tak lagi membaca ayat-ayat suci-Nya. Tak lagi shalat Dhuha dan Tahajjud. Tak lagi shalat qobliyah dan ba’diyah. Tak lagi memusingkan kapan Malam 1000 Bulan kan tiba.

Lalu tiba-tiba, yang aku ingat dari ujung kebersamaanku bersama mu, wahai Ramadhan, hanya barcode-barcode pakaian baru yang ku beli sekian kali untuk keluarga. Hanya toples-toples makanan yang ku susun di atas meja tamu. Hanya daun-daun ketupat yang berserakan di ruang dapur dan aku kesulitan membuangnya ke tempat sampah!

Puasaku memang tak pernah kalah. Sahur dan waktu berbukaku selalu terjaga. Tapi itu saja tak cukup untuk membuat raportku biru semua. Aku tahu itu. Aku sungguh malu karena itu.

Belum lagi hati ini masih terlalu dalam terkurung dalam hawa nafsu. Amarah ku belum terkendali, perasaan curiga dan rasa dengki masih meracuni. Dosa-dosa lain masih aku puaskan sepanjang malam. Bodohnya diriku. Bagaimana itu terjadi, sementara di siang hari puasaku tak pernah henti.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline