[caption id="attachment_259664" align="aligncenter" width="482" caption="Ilustrasi/Admin (Kompas)"][/caption] Tadi pagi, usai menghadiri sesi wawancara bersama beberapa orang wartawan, seorang teman wartawan Bisnis Indonesia mengeluhkan kemacetan yang bertambah parah di depan kantornya seminggu terakhir. Tepatnya sejak Ustad Jefffry Al Bukhori meninggal dunia. "Setiap hari orang ziarah ke makam Uje, jalanan jadi tambah macet," ujarnya. Kebetulan kantor Bisnis Indonesia berada di samping komplek pemakaman Karet Bivak, Jakarta Pusat. Benar saja. Saat melintas di depan lokasi, ada dua rombongan ibu-ibu majelis taklim sedang berziarah ke makam Uje. Satu rombongan menggunakan bis Metromini terlihat sedang duduk dan makan siang di hamparan rumput pinggir jalan, sedangkan rombongan lain baru saja turun dari Mikrolet sewaan. Di sekitar lokasi masih bersandar tiga karangan bunga yang melepas kepergian ustadz tercinta. Pasti banyak yang bertanya-tanya, mengapa sang muballigh begitu dicintai jamaahnya. Meskipun tidak sedikit yang merasa tidak perlu melontarkan pertanyaan datar seperti itu, berhubung jawabannya sangat mudah diucapkan. Apalagi demi melihat besarnya antusias televisi meliput kepergian sang penceramah muda yang sepanjang pengabdiannya sebagai juru dakwah, selalu menyampaikan siraman rohani dengan gaya yang "gue banget". Dan bagaimana masyarakat menyirami pohon tempat kecelakaan dengan air kembang. Sampai ada yang mengambil tanah di lokasi kejadian untuk dibawa pulang. Mengapa mereka begitu mencintai almarhum sampai sebegitu berlebihan? Ya, Anda betul. Jawabannya memang sederhana: karena mereka mengenal betul sosok Uje. Filosofi 'tak kenal maka tak sayang' lebih berlaku saat seseorang meninggal dunia dibanding saat dia masih hidup. Efeknya akan lebih terasa. Ekspresi yang pancarkan lebih dahsyat, bahkan tak terbendung oleh apapun. Saya lalu teringat sebuah materi kultum yang pernah saya sampaikan di hadapan siswa-siswi Sekolah Republik Indonesia Tokyo (SRIT) di Jepang, empat tahun silam. Waktu itu, beberapa hari menjelang Ramadhan, saya ceritakan fenomena kepergian King of Pop Michael Jackson yang ditangisi berjuta penggemarnya di penjuru dunia. Mereka sangat kehilangan sang idola karena masing-masing orang mengenal betul sosok yang diidolakan. Mengikuti perjalanan kariernya. Membeli setiap album dan pernak-pernik yang menjadi simbol kebesarannya. Memutar tanpa kenal bosan setiap lagu yang diciptakan. Dan memburu sang bintang ke setiap konser yang digelar. "Begitu juga dengan Ramadhan. Kalau kalian mengenal bulan ini dengan baik, niscaya kalian tidak ingin kehilangan momen bersama Ramadhan," begitu kurang lebih inti pesan yang saya sampaikan. Lewat artikel ini, saya tidak sedang membandingkan kedua sosok tokoh itu dalam satu timbangan. Tapi saya sedang bicara soal kecintaan masyrakat terhadap seorang tokoh. Kalau selama hidupnya sang tokoh berkarya dan berbuat optimal demi orang-orang yang mencintainya, niscaya kepergiannya akan ditangisi banyak orang selama-lamanya. Lantas bagaimana dengan kecintaan ummat Islam terhadap junjungan Nabi Besar Muhammad SAW? Apakah mereka cukup mengenal sosok Muhammad untuk dapat merindukan kehadirannya dan melantunkan shalawat kepadanya setiap saat? Sampai di sini, saya tidak ingin bicara terlalu banyak. Karena saya sendiri baru membaca sedikit buku sejarah Nabi. Bagi saya, cara terbaik mengenal pujaan hati yang sudah lama meninggal dunia adalah lewat buku yang bercerita soal kehidupan, perjuangan dan pengabdiannya sepanjang hidup. Tidak ada cara lain. Masyarakat sekarang beruntung bisa bertemu dan mengenal baik sosok Uje selama hidupnya, sehingga dengan mudah mencintai sosoknya dan merindukan kehadirannya. Tapi kita tidak beruntung bila bicara soal sosok pembawa cahaya Islam. Nabi Muhammad SAW meninggal ratusan tahun silam. Bila kita ingin mengenal untuk mencintai sosok Nabi, bukulah satu-satu jalan yang harus dibaca dan dihayati. Kurang-lebih itulah hikmah yang bisa diungkap dari sekian banyak berita dan informasi yang berseliweran di televisi, tabloid dan koran. Agar ini semua tidak dianggap sebagai bagian dari infotainment belaka....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H