[caption id="attachment_238402" align="aligncenter" width="630" caption="Draft Lembar Freez edisi hari ini (Rabu, 17 April 2013) yang masih dalam proses produksi."][/caption] Seperti Rabu yang sudah-sudah, Kompasiana Versi Cetak kembali terbit di Harian Kompas. Hari ini, Kompasiana menyuguhkan dua artikel utama kehidupan anak indekos (biasa disingkat kos) yang mengulas rutinitas makan, tips menemukan kos yang cocok, sampai siasat para penghuni kos menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitar. Di luar kedua tulisan utama yang diambil dari artikel-artikel terkait tema-gaya-hidup yang dilempar minggu sebelumnya, Kompasiana Freez (begitu lembar satu halaman ini dinamakan) juga menurunkan tiga artikel lain di rubrik New Media, Liputan Warga dan Kawat Dunia. Mungkin selama ini teman-teman Kompasianer bertanya-tanya, bagaimana sebuah artikel diedit untuk kemudian diterbitkan di Harian Kompas. Mengapa artikel di versi cetak berbeda dengan versi asli yang ditayangkan penulisnya di Kompasiana? Saya ingin sedikit berbagi seputar proses tersebut. Pada masa awal munculnya Kompasiana Versi Cetak di Harian Kompas dua tahun lalu, saya selaku editor baru memindahkan artikel dari internet ke media cetak. Proses editing yang dilakukan hanya sebatas penyelarasan bahasa, koreksi atas kesalahan ketikan (typing error) dan pemenggalan paragraf, sehingga pembaca tidak perlu mengernyitkan dahi saat membacanya. Bagian terbesar yang dilakukan terhadap setiap artikel adalah pemenggalan paragraf atas nama keterbatasan ruang. Tantangannya, bagaimana agar pemotongan itu tidak menjadikan isi artikel menggantung di tengah jalan alias tuntas dibaca oleh pembaca koran. Terus-terang, mengedit artikel yang panjang sampai seukuran dua-tiga halaman A4 dan menjadikannya hanya sepanjang satu halaman bukanlah pekerjaan mudah. Saya harus memilih dan memilah bagian cerita yang paling menarik. Dan yang terpenting, bagaimana agar tulisan itu tetap enak dibaca dan dimengerti, dari paragraf awal sampai titik terakhir. Model pengeditan seperti ini diterapkan dalam periode penyesuaian Freez yang bisa diklaim sebagai media sosial versi cetak pertama di Indonesia. Agar penulis dan pembaca memiliki pemahaman bahwa apa yang ada Kompasiana versi cetak dan versi online adalah sama. Baik produk maupun kontennya. Selama masa ini, gaya bahasa dan ciri khas masing-masing konten masih sedikit dipertahankan. Hybrid Journalism Memasuki tahun 2013, artikel Kompasiana yang dianggap layak masuk versi cetak tidak hanya diedit. Tapi di-hybrid dalam arti dibuatkan sebuah artikel baru lewat dua sentuhan yang berbeda. Dalam konteks jurnalisme warga (citizen journalism), Hybrid Journalism alias Jurnalisme Hibrida adalah sebuah proses pembuatan sebuah berita yang melibatkan kerjasama dua pihak secara simultan, yaitu antara warga dan wartawan/editor, untuk ditayangkan di media mainstream (koran, majalah, tabloid, website). Hasil dari kerja Jurnalisme Hibrida adalah sebuah artikel baru hasil kolaborasi dua pihak tadi. Konten yang di-hybrid boleh jadi berasal dari artikel yang sudah ditayangkan di internet. Atau bisa juga berupa laporan langsung dari lokasi kejadian yang dikirimkan warga ke media mainstream, baik melalui saluran komunikasi atau data. Bisa lewat SMS, email, atau yang lebi canggih lewat sebuah aplikasi yang dibuat khusus untuk keperluan tersebut. KOMPAS.com sendiri, dalam pengamatan saya, sudah sering meng-hybrid tulisan warga Kompasiana. Contohnya artikel "Potret Suram Seorang Pensiunan Staf Paspamres" milik Sam Leinad yang di-hybrid KOMPAS.com menjadi artikel berjudul "Hidup Prihatin Setelah Mengabdi Negara 30 Tahun". Kembali ke Kompasiana Freez. Bila saat ini Anda membandingkan antara artikel versi cetak yang ada di lembar Freez dengan artikel aslinya yang tayang di website Kompasiana, niscaya akan ditemukan berbedaan besar antara kedua. Isinya sama, tapi sajiannya beda. Mulai dari judul, paragraf pembuka, isi sampai bagian penutup. Fokus utama atas semua konten di Kompasiana Versi Cetak adalah isinya atau ceritanya atau faktanya. Bukan gaya bahasa yang menjadi ciri khas penulis. Walhasil, Anda dapat menemukan adanya perubahan artikel dari gaya bertutur menjadi gaya berita. Penggunaan kata ganti orang pertama (saya, aku, kita, kami), misalnya, diminimalisir atau bahkan dihilangkan sama sekali. Untuk beberapa jenis artikel seperti di rubrik Wisata, gaya bertutur masih dipertahankan, semata-mata untuk menunjukkan adanya kedekatan dan keberadaan penulis di lokasi wisata yang diceritakan. Begitulah sekilas isi dapur Kompasiana Freez. Semua ini dilakukan dengan semangat meningkatkan kualitas konten yang dihasilkan warga. Sekaligus memancing gairah menulis di kalangan pembaca Harian Kompas. Karena di era media sosial, pembaca koran bukan lagi sebagai pembaca. Mereka adalah hadirin (audience) yang bisa diajak terlibat dalam interaksi multi-arah. Bahkan, mereka sudah berubah wujud menjadi pembuat konten. Yang saya maksud mereka adalah: Anda semua!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H