Lihat ke Halaman Asli

ISJET @iskandarjet

TERVERIFIKASI

Storyteller

Orang Indonesia dan Logika Polisi Tidur

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13273923191823641668

[caption id="attachment_165839" align="aligncenter" width="500" caption="Ilustrasi/Admin (Shutterstock)"][/caption]

Saya sudah lama dibuat jengkel oleh ulah polisi tidur. Eh, maksud saya, ulah warga atau aparat yang membuat polisi tidur. Setiap kali ada perbaikan jalan di lingkungan rumah, selalu diwarnai dengan aksi pembangunan polisi tidur secara berjamaah. Undakan semen setinggi hingga 30 sentimeter itu tidak hanya mengganggu pengguna jalan, tapi bisa mempercepat kerusakan onderdil kendaraan.

Polisi tidur buatan warga biasanya didasari pada dua niat: pertama untuk mencegah aksi kebut-kebutan di jalan lingkungan atau gang kecil, kedua untuk meredam kebisingan yang mengganggu pembuatnya--yang rumahnya berada persis di pinggir jalan.

Sebenarnya tidak ada masalah kalau jalan lingkungan yang bukan termasuk jalan raya diberi satu dua polisi tidur. Tapi yang menjengkelkan adalah kalau setiap orang yang rumahnya ada di pinggir jalan punya dua niatan tadi. Walhasil, banyak sekali polisi tidur berjajar di sepanjang jalan dalam jarak kurang dari lima meter.

Kalau begitu, mendingan jalannya gak usah diaspal sekalian deh! #sebel

Lalu bagaimana jadinya kalau para polisi tidur tadi juga beroperasi di jalan raya? Sebagai warga, saya jelas-jelas jengkel habis dan tidak habis pikir dengan pola pikir orang Indonesia (termasuk saya dong) dalam mengelola jalan beraspal.

Kalau kamu orang Depok, mungkin sedang ikut jengkel seperti saya. Sejak akhir tahun lalu, Pemda atau Kepolisian setempat dengan gagah berani membuat polisi tidur di jalan Margonda, tepatnya di depan Universitas Gunadarma Margonda. Polisi tidur dibuat dengan bahan karet padat warna kuning dengan tinggi sekitar 20 sentimeter di kedua ruas jalan. Setiap kendaraan yang akan melewati undakan kokoh itu terpaksa harus berjalan pelan sehingga menimbulkan antrian.

Setiap kali lewat situ, saya selalu bertanya-tanya, bagaimana tradisi polisi tidur yang biasanya diterapkan di jalan lingkungan juga dipraktekkan di jalan raya Margonda yang notabene menjadi jalan utama semua warga Depok?

Kalau ingin mengendalikan laju kendaraan untuk para penyeberang jalan, aparat yang sudah khatam teori lalu lintas itu bisa membuat jembatan penyeberangan atau lampu penyeberangan yang lebih praktis. Kalau keduanya tidak mungkin dibuat, yang pasti polisi tidur bukanlah sebuah solusi!

Sebenarnya praktek pembuatan polisi tidur di jalan raya sudah berlangsung lama. Malah, lebih parah lagi, ada polisi yang tidurnya berbaris rapi, alias dibuat lima sampai tujuh undakan sekaligus. Mungkin si pembuat menyebutnya sebagai marka kejut. Tapi bagi saya itu tetap saja polisi tidur (bergerombol). Karena tingginya jauh melebihi tinggi marka jalan yang biasanya dibuat tipis dan berwarna putih atau kuning.

Contohnya ada di depan gedung Nestle yang berlokasi di jalan TB Simatupang (teman-teman punya contoh lainnya?). Undakan seperti ini menurut saya layak disebut polisi tidur liar. Karena pembuatannya tidak sesui dengan Undang-undang lantas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline