[caption id="" align="aligncenter" width="560" caption="Saat memandu acara diskusi bareng Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, 22 Maret 2014 (Kredit foto: Dwi www.kompasiana.com/miss_curious)"][/caption]
Menyaksikan video siaran Metro TV yang menayangkan luapan emosi Risma kepada panitia Wall's Day, saya cuman mesem-mesem. Gak kebayang kalutnya orang-orang berkaos merah itu menghadapi orang nomor satu Surabaya ini. Pasti gundah bin gulana.
Gimana enggak kalut. Mereka yang bekerja di lapangan ibarat sudah jatuh tertimpa tangga. Sudah capek menghadapi ledakan pengunjung, harus menghadapi kemurkaan seorang Risma yang dikenal sebagai pemimpin pekerja.
Tapi nasi sudah jadi bubur. Alhamdulillah Wall's bertanggungjawab memulihkan kembali keindahan taman Bungkul dan tanaman-tanaman yang ikut terinjak puluhan ribu pasang kaki selama pelaksanaan Hari Makan Es Krim Wall's Gratis.
Lalu mengapa aksi Risma itu malah menuai respon simpatik dari masyarakat yang menontonnya? Padahal kalau ada pejabat yang lebih tinggi dari Walikota marah-marah, belum tentu rakyat yang nontonnya mendukung si pemarah.
Saya termasuk yang mendukung aksi Risma membela tanah kelahirannya. Mempertahankan kerja tim Pemda selama sepuluh tahun menggunakan uang rakyatnya untuk membangun taman Bungkul. Sebesar apapun luapan amarah yang dia tumpahkan, itu layak dan wajar.
Ya wajarlah, siapa yang rela taman peraih penghargaan PBB "The 2013 Asian Townscape Award" untuk kategori Taman Terbaik Se-Asia ini (di)rusak dalam sekejap!
Selain itu, karakter bu Risma memang begitu. Bukan karakter yang marah-marahnya itu loh ya. Tapi karakter keibuannya yang pengayom dan pembela orang-orang dalam naungannya (dalam hal ini rakyat Surabaya yang mempercayakan mantan Kepala Dinas Kebersihan Pertamanan ini sebagai pemimpinnya).
Saat memandu acara diskusi Kompasiana Modis bareng Risma, 22 Maret lalu, karakter itu begitu kuat terasa, tanpa ada rem apalagi rekayasa.
Semua pertanyaan dan keluhan Kompasianer, baik yang tinggal di Surabaya maupun di kota lainnya, dijawab dengan gayanya yang khas. Spontan dan penuh semangat. Saat ada Kompasianer yang mengeluhkan sulitnya meminta izin ke Pemda untuk sebuah acara pentas seni, dia langsung minta disebutkan nama staf yang mempersulit. Dia juga minta si penanya menginput data pribadinya ke ajudannya dan siap menjadi saksi. "Orang ini bisa saya pecat!" Katanya tegas, merujuk ke PNS yang disebut mempersulit izin.
Suasana terasa lebih panas ketika Kompasianer yang penggiat bola dan juga aktifis komunitas Bonek meminta ketegasan Risma dalam menyelesaikan konflik internal Persebaya. Mata Risma langsung mendelik. Menurutnya, bagaimana mungkin mendamaikan dua pihak yang memang tidak mau berdamai. Bagaimana dia bisa masuk ke satu persoalan yang di luar kewenangan dia. Dan bagaimana dia mati-matian nungguin anak-anak Bonek yang masuk Rumah Sakit setelah bentrok dengan tim lain dalam sebuah pertandingan.