Bagi masyarakat urban Indonesia, mobil laksana rumah kedua. Kebutuhan terhadap mobil tak ubahnya kebutuhan terhadap rumah. Itulah sebabnya, setelah punya rumah, keluarga muda langsung fokus ke program pemilikan mobil.
Cara paling cepat dalam mewujudkan program tersebut adalah dengan membeli mobil dengan cara angsuran.
Tapi masalahnya, pola pembiayaan kepemilikan rumah berbeda dengan pola pembiayaan mobil. Antara lain terkait jangka waktu kredit rumah yang bisa jauh lebih lama dibandingkan jangka waktu kredit mobil. Kalau beban harga rumah bisa dipecah dalam pola cicilan hingga 15 tahun, kredit mobil paling lama 5 tahun.
Memang kalau dipikir-pikir, semakin lama jangka waktu kredit, semakin besar beban bunga (atau dalam sistem syariah harga penjualan) yang harus dibayar oleh konsumen. Tapi berhubung harga rumah atau mobil sangat mahal, mencapai ratusan juta hingga milyaran rupiah, beban itu dianggap sepadan dengan barang yang diterima.
Apalagi harga rumah (khususnya terkait nilai investasi tanah di bawahnya) setiap tahun selalu bertambah seiring dengan berjalannya masa kredit. Artinya, ketika kredit rumah selesai, bisa jadi harga jual rumah yang dibeli sudah berlipat.
Kondisi tersebut berbeda dengan mobil yang setiap tahun nilai fisiknya akan terus menyusut. Ya wajarlah. Mobil kan barang yang secara fisik dipakai setiap hari--sama sekali beda dengan properti. Sehingga setelah lima tahun dipakai, harga jualnya cenderung terjun bebas.
Oleh karena itu, saat ingin membeli mobil, kamu harus sedikit memaksakan diri. Bukan berarti terpaksa beli karena gengsi apalagi gaya hidup loh ya. Tapi terpaksa beli karena kebutuhan yang mendesak. Misalnya karena jumlah keluarga sudah banyak sehingga akan sangat tidak nyaman kalau masih mengandalkan kendaraan motor atau angkutan umum untuk mobilitas keluarga.
Kurang lebih begitulah yang saya alami saat pertama kali membeli mobil keluarga. Saya agak memaksakan diri, sambil memahami risiko hilangnya kesempatan untuk menabung atau memiliki dana cadangan darurat. Kenapa dipaksakan? Karena jumlah keluarga sudah lima orang, dan jangkauan mobilitas keluarga bisa dibilang meliputi semua sudut kota Jakarta.
Jadi itulah peran niat dalam membeli mobil. Niatnya tidak hanya harus bulat, tapi juga harus benar. Bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan sekunder apalagi tertier, tapi mobil benar-benar sudah masuk ke lini terbawah kebutuhan primer.
Nah, setelah punya niat, barulah dipikirkan langkah berikutnya, yaitu uang muka. Cara mengakali agar cicilan mobil tidak terlalu membebani arus kas adalah dengan mempersiapkan jumlah uang DP (down payment) yang cukup besar. Setidaknya di atas 30 persen harga mobil. Kalau kamu mengejar DP murah, bisa jadi akan terlibat dalam masalah keuangan yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Logikanya begini. Orang yang mengambil kredit dengan DP ringan, cenderung lebih cepat mengambil keputusan dibandingkan orang yang memilih DP tinggi. Bahasa kasarnya dia kurang cermat dan tergesa-gesa dalam membeli mobil. Walhasil, pada saat mobil itu dibeli, kondisi keuangan belum seideal yang dibayangkan atau diharapkan.