Penangkapan model demokrasi di negara ini makin mencerminkan watak beda bila dibandingkan watak demokrasi yang ada di negara lain, seringkali, aparat tidak pernah bisa berpihak netral, selalu dalam sebuah kepentingan kelompok Partai berkuasa, menunjukkan sebuah mekanisme aparat masih condong seperti gantungan kunci, cendrung membeo dalam kekuasaan partai yang berkuasa, bukan lagi berpihak pada kepentingan rakyat. Biasanya sikap sikap kaku aparat ini lebih pada kepentingan skala lokal peran pimpinannya yang memiliki peran membawa instansi terkait kedalam kencah permainan politik praktis.
juga biasanya mudah mengelurkan pernyataan pernyataan sumbang mewakili kekuasaan, misalnya : DITUNGGANGI, MAKAR, MENGHASUT, hingga dicari pasal pasal penjerat seperti menggunakan ITE, tanpa mau belajaar banyak dari kedaan yang sebenarnya dilapangan. Bahkan membungkan makna demokrasi dengan otoriterisme yang masih lengket dan membuadaya sejak jaman orde lama, menjadi alat kepentingan kekuasaan, bukan kepentingan Negara lagi. Tetapi kata "Negara" atau "NKRI" semisal selalu menjadi payung hukum bertindak anarkhis model aparat.
Mencari keuntungan politik atau kambing hitam dari aksi super damai 212, dengan mencoba menggunakan kekuatan sebagai pola pengembangan potensi melindungi jabatan, menggunakan pasal pasal ITE, sebagai faktor utamanya, menjadi dasar hukum memenjarakan pihak pihak yang dituduh makar, karena kreatif menulis di Internet, atau media sosial, ngoceh tentang kekuasaan, yang biasa dilakukan dijaman SBY, blak blakan mengkritisi pemerintah, justru jaman Jokowi ini sangat membedakan bentuk demokrasinya, terlalu demokrasi parsial, menempatkaan musuh politik sebagai orang orang yaang tertuduh makar.
Mulai dari Rahmawati Sukarno Putri hingga Hatta Taliwang, sebuah ambisi politik partai yang anti kritik dan anti opposisi, menjadi selalu galau dengan pernyataan sumbang yang berbeda dengan keinginan partai pengusung kekuasaan. Di Jaman SBY, PDIP sebagai partai Opposan yang bebas mengkritisi pemerintah, bebas dengan berbagai pernyataan pemerintah. bahkan demi sebuah demokrasi yang dibanggakan SBY, akhir hayat kekuasaanya mempersiapkan politik "rasa hormat" kepada pihak lawan politiknya, menyembut presiden baru Jokowi waktu dengan penuh hormat.
Sebuah tindakan politik yang tidak membedakan partai ini tentu memberikan makna tersendiri kepada SBY. Namun kekuasan politik yang ada dalam pemerintahan baru Jokowi. kembali menjadi simbol perlawnan anti partai opposisi, memecah barisan partai pendukung Prabowo dengan berbagai cara yang sangat politis, menggerakkan tokoh tokoh partai opposi yang dinilai bisa sebagai media memporak-porandakan Partai lain, karena sebuah kepentingan, apapun namanya, sehingga terjadi saling sikut dalam sebuah partai, demi memenuhi selera ambisi kekuasaannya.
Tetapi sekarang, kata MAKAR, DITUNGGANGI, menjadi andalan penguasa menggulung setiap perbedaan pendapat, juga sebenarnya makar, kalau usahanya melanggengkan kekuasaan semata, membangun NKRI diatas sentemin golongan atau partai belaka. Tidak tau apakah memang NKRI masih dalam koridor NKRI yang demokratis, atau hipokratis, sebuah alibi membangun kekuasaan tanpa memberi hak berbeda kepada siapapun yang dituduhy MAKAR, paradigma orla yang kambuh kembali, sebuah politik adu domba sesama kelompok partai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H