Masalahnya tidak sebatas melihat ketegangan antara Istana dan Cikias, juga tidak sebatas membaca lawan tanding di Pilkada DKI, apalagi misalnya sebatas meraba kunjungan maraton Jokowi ke barak barak Militer, tetapi harus lebih jauh melihat skala pemikiran partai PDIP yang punya andil dendam masa lalu dengan SBY, kaitannya dengan dirinya yang keluar dari Kabinet Era Megawati, sebagai Presdien ke 5 waktu itu.
Ada muatan sejarah PDIP yang terluka, akibat dari bias kemelut politik pencalonan SBY sebagai capres dari Partai Demokrat yang tiba tiba memunculkan Figur seorang SBY dalam merebut kursi panas istana. Dari Era Megawatilah seharusnya dibaca peritiwa itu, yang tentu saja menjadi sandungan Moncong Putih untuk berkuasa lagi, dan secara berturut turut SBY menyempurnakan tugasnya selama dua kali periode Pilpres.
Tiba tiba ada tuduhan Istana, berkaitan dengan dengan demo 411, artinya tidak mulus dugaan orang orangnya Jokowi yang duduk dalam BIN, tidak mampu memberikan informasi Intelijen yang benar kepada Jokowi, sehingga seorang Jokowi cukup paranoid kalau terjadi apa yang dilaporkan telek sandinya itu. Justru di luar kekuasaan SBY masih mampu meneropong gerakan 411 itu adalah gerakan murni yang membawa aspirasi umat Islam yang tersinggung dengan ulah Gubenur DKI non aktif .
Itupun ternyata benar, memang kesalahan besar Intelijen Jokowi yang menebar issu dusta, nyata juga sebenarnya intelijen secara tidak langsung menebbar fitnah ke Istana, buntutnya ternyata demo 411 tidak terjadi apa apa , justru provokatornya datang dari aparat itu sendiri.
Paranoidpun berlangsung terus yang mendorong sang Presiden merasa dibawa Angin dan malu dengan pernyataan pernyataanya yang melibatkan Intelijennya. Ini kemungkinan besar yang membuat Jokowi harus melakukan gerak cepat blusukan kebarak barak militer dan markas markas kepolisian, untuk memastikan dukungan mereka masih setia kepadanya atau tidak.
Bukan tidak mungkin ini menjadi pikiran Jokowi dan orang orangnya yang masuk dalam era global, mestinya harus lebih menyadarkan Jokowi sebagai kepala negara bukan Kepala pemerintahan PDIP, tidak bermimpi lagi kalau bapak Presiden masih menjadi orang PDIP, namun lebih konsentrasi pada kedudukannya sebagai milik bangsa, dan sebagai panglima Penegak hukum, bukan saja merasa sebagai Panglima Tertinggi TNI, dan adalah seharusnya merasa sebagai pengayom hukum, tidak menempatkan orang bersalah siapapun yang layak dilindungi. TIdak bermain Api poltik seperti melempar tuduhan tuduhan : " ada penunggang demo, atau sedang ditunggangi dan sebagainya". yang mengarah pada fakta rekayasa.
Bagaimana bisa seorang Presiden hanya sebatas mampu mengusik tanpa program yang jelas, apa sekedar mau mengandalkan dana tunjangan seperti BLT yang diterapkan SBY, sebatas yang dilakukan sekarang , tanpa ada pengembangan, yang betul betul menyentuh umat Indonesia. Sementara disisi lain, hukum masih berjalan Pincang KPK masih mengendus kubu lawan politiknya, namun ketika dibenturkan dengan Sumber waras dan Reklamasi, justru KPK jadi jadian itu tak mampu berbuat apa, banyak alasan yang dikemukan, misalnya dg sukup melontarkan : "tidak ada niat Ahok ". jadi intinya masalah keterkucilan itu harus lebih dipahami, Jokowilah yang sedang terkucil, sebagai bentuk kekalahan lagi pola kepeimpinan Jokowi pada SBY, belum satu babak sudah banyak kecacatan pemerintahan Jokowi, yang perlu segera merobah gaya kepemimpinan yang terkesan main main.
Masalah hukum misalnya antara SBY dan Jokowi ini sangat berbeda dalam memberi mandat pada KPK, kalau SBY tidak memikirkan orang orang dekatnya, termasuk orang partainya dan meneterinya di seret KPK kedalam Penjara, ini tak terjadi dengan Jokowi yang lebih rivalis dalam menangani kasus KPK, tidak menjangkau orang orangnya, terutama Gubenur non aktif DKI, bahkan teak tersentuh oleh KPK... disinilah rasisme hukum yang berlaku .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H