SUARA takbir berkumandang sore itu. Suaranya mendayu-dayu memasuki kisi-kisi kamar kost berukuran 2x3 meter. Menusuk relung hati paling dalam pemuda asal Pontianak, Kalimantan Barat (Kalbar), bernama Ujang Sumarwan.
Ia beranjak dari kasur yang telah menjadi teman hidupnya selama tiga tahun merantau di Jakarta. Membuka pintu lebar-lebar, membiarkan angin sepoi-sepoi membasuh wajahnya. Memenuhi ruangan di kamar yang terletak di lantai dua.
Suara takbir membuat Ujang Sumarwan kangen kampung halaman. Teringat saat menggembala kambing, mandi di kali, belajar bersama, main bersama dan yang tidak kalah penting adalah jajan bersama.
Setiap Hari Raya Idhul Adha, ia bersama teman-teman selalu punya tradisi bakar sate. Setelah seharian membantu umat muslim mencacah daging kambing ataupun sapi yang akan dibagikan ke fakir miskin, orang jompo, anak terlantar, yatim, piatu maupun yatim piatu.
Ujang terkenal memiliki keahlian memasak nasi, Muslim membuat bumbu sate, Arman pembakar sate ulung dan Imanuddin pembuat sate.
Kami dikenal sebagai kelompok empat sekawan. Selalu bersedia membantu walau tanpa upah.
Dari kelompok empat sekawan itu hanya aku yang beragama Buddha. Muslim, Arman, Imanuddin beragama Islam. Tapi agama tak pernah membatasi ruang gerak kami dalam bermain.
Kini kelompok empat sekawan tercerai berai. Aku memutuskan kuliah di Jakarta, walau bukan negeri. Imanuddin di Kota Jogja, Muslim di Kota London, sedangkan Arman di Banda Aceh.
Suara telepon membuyarkan seluruh kenangan masa kecil dulu. Ujang melirik ke arah layar telepon genggam yang diletakan di meja belajar. Tertulis nama Muslim. Dalam hatinya terbesit kata pucuk dicinta ulam pun tiba.
"Assalamualaikum," ucap Ujang lantang.
Diujung telepon, Muslim tak mau kalah dengan suara Ujang.
"Walaikum salam," teriak Muslim.