PERLAHAN kabut turun menutup lembah tempat insan muda mudi belajar mengenal sekelumit ajaran Islam. Dinginnya merasuk hingga ke dalam tulang. Membuai setiap insan yang tengah bermimpi.
Ranjang berukuran kecil menjadi tempat paling sempurna untuk merebahkan diri mengusir lelah setelah seharian menjalankan aktivitas. Walaupun dipan tersebut berukuran kecil, namun dipan tersebut mampu menina bobokan empat manusia setiap malam-malamnya. Tidur berjejal layaknya ikan asin yang tengah di jemur.
Seperti hari-hari biasanya, Kang Toyib, bertugas membangunkan para santri untuk menjalankan ibadah sholat tahajud. Ia tak segan-segan menyiram air satu ember jika orang yang dibangunkan tak kunjung berdiri dan pergi ke kamar mandi untuk berwudhu.
Amri dan Harbudhi adalah orang yang paling sering jadi korban keganasan air satu ember Kang Toyib. Namun, dua karib itu selalu mempunyai segudang alasan untuk lolos dari hukuman.
Alasan paling klasik adalah patroli. Tugas tersebut diserahkan Ustadz Muflih kepada para santri karena sumber daya keamanan terbatas. Pondok hanya mampu membiayai satu petugas jaga. Dan, itu diserahkan kepada Kang Toyib.
Itu juga yang dijadikan alasan Amri dan Harbudhi jika dipanggil Ustadz Muflih. Sayangnya, kali ini dua begundal itu tidak akan bisa lolos dari hukuman karena seluruh petugas jaga malam itu, tidak ada satupun yang berhalangan.
Pagi setelah menjalankan ibadah sholat subuh, Ustad Muflih yang biasa mengajarkan kitab Jurumiah meminta para santri yang hadir tidak keluar masjid.
Dia bertanya kepada Lurah Pondok, Ustadz Makmun, siapa tugas jaga hari ini dan siapa saja santri yang tidak menjalankan sholat tahajud. Bahkan, tidak menjalankan ibadah sholat subuh berjamaah.
"Siapa saja Mun," katanya.
Ustadz Makmun melihat catatan yang diberikan Kang Toyib sebelum sholat subuh. Petugas jaga hari ini Ustadz, kata Makmun, Thoriq, Kusnadi, Wahyudi, Agus Irsyad, Nuran dan Abdul Ra'uf.
"Seluruhnya masih ada di dalam masjid ini ustadz," katanya.