Lihat ke Halaman Asli

Memahami Nalar Narasi Tagar 2019 Ganti Presiden

Diperbarui: 26 Agustus 2018   16:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Minggu, 26 Agustus 2018 masyarakat Surabaya terbelah. Memang tidak semua terpolarisasi pada kelompok mendukung dan menolak gerakan #2019gantipresiden. Masih banyak masyarakat yang sibuk dengan gawainya di warung kopi ber-wifi. Sementara di jantung kota sebagian yang lain sedang berhadap-hadapan antara mendukung dan menolak deklarasi #2019gantipresiden.

Sebelumnya, kelompok masyarakat menolak dan mendukung juga terjadi di Batam dan Pekanbaru. Di media, terlebih di media sosial, keduanya antara yang menolak dan mendukung saling berargumen membenarkan tindakannya masing-masing. Di luar itu, publik lebih bingung lagi.

Tahun politik masih panjang, masa kampanye belum dimulai, tapi aromanya sudah menusuk hidung. Masyarakat sudah dipolarisasi sedemikian rupa. Ketegangan dan saling hujat menghiasi ruang-ruang publik. Bagaimana bila sudah masa kampanye, akankah ketegangannya lebih meningkat atau justru menjadi anti-klimaks?

Calon presiden dan wakil presiden sudah didaftarkan. Ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan berkompetisi di Pemilihan Presiden tahun 2019 nanti. Petahana dan penantangnya.

Dengan demikian gerakan #2019gantipresiden merupakan, secara tidak langsung, sebuah bentuk ajakan untuk tidak memilih calon petahana dan ajakan untuk memilih calon satunya.

Kenapa demikian? Karena pasangan calon presiden dan wakil presiden pada Pemilihan Presiden 2019 hanya ada dua paslon, lain halnya bila paslonnya lebih dari dua paslon. Mengajak tidak memilih petahana berarti mengajak memilih calon satunya. Seandainya ada lebih dari dua paslon mungkin gerakan #2019gantipresiden tidak akan ada. 

Bila hal ini merupakan bentuk ajakan untuk memilih salah satu paslon secara tidak langsung maka, gerakan ini bisa dikatakan sebagai bentuk kampanye, meski secara langsung tidak menyebutkan salah satu paslon. Tapi narasi ini, dengan logika sederhana, bisa dipahami mengarah ke situ.

Masa kampanye belum dimulai. Karenanya tidak diperbolehkan mengampayekan salah satu paslon. Tapi aromanya sudah menyengat, meskipun tidak menyebutkan salah satu calon. Tapi juga logika umum bisa memahami hal ini mengarah pada salah satu calon. Demikian, batas-batas masa kampanye seperti sudah tidak ada.

Agar masyarakat tidak semakin terpolarisasi sehingga mengakibatkan tindakan-tindakan yang tidak diinginkan, hal ini penting untuk menjadi pemahaman bersama.

Ke depan, kiranya perlu diatur berbagai ragam kampanye baik eksplisit atau implisit. Sehingga tidak menyebabkan masyarakat selalu bersitegang. Agar tahun politik menjadi tahun untuk menguji dan mengajukan gagasan bagaimana menata dan megelola bangsa dan negara menjadi lebih baik dan lebih baik lagi, sehingga kesejahteraan dan kemakmuran bangsa yang seutuhnya segera terwujud.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline