Menurut Ketua Badan Legislasi DPRA, Abdullah Saleh SH, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Qanun Wali Nanggroe yang telah disahkan DPRA pada Februari 2013 sudah sah dan kelembagaannya sudah bisa dijalankan.Menurutnya, masa tenggang atau masa idah koreksi dan pembatalan qanun itu, jika dinilai tidak sesuai dengan UU yang lebih tinggi dan kepentingan umum, adalah selama 60 hari. Kurun waktu itu sudah terlampui, mengingat klarifikasi qanun itu kepada Kemendagri telah disampaikan Pemerintah Aceh pada 21 Februari 2013.
Sementara itu, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi menilai bahwa Qanun Wali Nanggroe dianggap telah melanggar UUPA karena dianggap melampaui kewenangan yang diatur dalam UUPA dan terdapat duplikasi atau tumpang tindih tugas dan wewenang Lembaga Wali Nanggroe yang tercantum dalam pasal 1 angka 11, 12, 13, 14, 15, 16, 18, dan angka 19.
Melihat dualisme pendapat di atas, tampaknya akan semakin meruncingkan konflik antara Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat khususnya dalam hal pembahasan 2 qanun kontroversial yaitu qanun Wali Nanggroe dan qanun lambang dan Bendera. Persoalannya adalah bahwa setiap peraturan dan UU yang dibuat oleh pemerintah daerah harus disesuaikan berdasarkan jenis dan hierarki dimana menurut Pasal 7 ayat 1 UU Nomor 10 Tahun 2004 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah. Peraturan Daerah terdiri atas Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, dan Peraturan Desa.
Oleh karenanya, Qanun Wali Nanggroe merupakan salah satu peraturan daerah provinsi yang setiap pasal-pasalnya tidak boleh melampaui peraturan yang berada di atasnya. Ini yang perlu dipahami oleh para pengusung Qanun Wali Nanggroe. Selanjutnya apabila qanun Wali Nanggroe ini tetap dipaksakan, maka bagaimana dengan anggaran yang menyertainya? bukankah RAPBA 2013 telah memperoleh verifikasi dan koreksi dari Pemerintah Pusat selaku kuasa anggaran?Bagaimana membiayai perangkat Wali Nanggroe yang "sangat gemuk" berjumlah lebih dari 200 orang tersebut? darimana anggarannya? sementara RAPBA 2013 sendiri belum memperoleh restu dari pemerintah pusat?
[caption id="attachment_259326" align="alignnone" width="588" caption="Sumber: https://www.facebook.com/photo.php?fbid=590045934360801&set=gm.676951205653363&type=1&theater"][/caption]
Menurut saya, Aceh terlalu disibukkan dan menghabiskan waktu dengan qanun-qanun ini, hingga kehilangan fokus dalam upaya mensejahterakan rakyat. Apabila dilihat dari qanun-qanun yang tengah diperdebatkan tersebut, tidak satupun pasal yang membahas bagaimana dan apa upaya dalam memperbaiki kesejahteraan rakyat Aceh yang hampir setengahnya hidup di bawah garis kemiskinan. Ataukah terdapat skenario terselubung dengan memaksakan qanun ini? entahlah, yang jelas di depan mata para elit Aceh saat ini, jutaan rakyatnya masih berkubang kemiskinan, jutaan pula anak yang sulit ataupun putus sekolah dan ratusan ribu lainnya masih menjadi pengangguran. Perlukah Lembaga Wali Nanggroe ini kita paksakan?
(Atjehgroup)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H