Lihat ke Halaman Asli

Menjadi LGBT di Indonesia: Pilihan?

Diperbarui: 24 Februari 2016   16:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagaimana umumnya LGBT di Indonesia, tadinya saya takut untuk unjuk berbicara. Tapi fitnah dan tuduhan para petinggi agama dan tokoh-tokoh populer terhadap LGBT sudah demikian parah. Kebencian mereka terhadap LGBT sudah membuat mereka berlaku tidak adil.

Saya muslim, dan saya gay. Saya tidak berharap ada yang mengerti bagaimana saya bisa hidup dalam oxymoron ini. Namun jika ada yang mau tahu bagaimana kisah saya bertransformasi dari self-loathing gay, lalu menjadi muslim garis keras yang ingin memenggal kepala LGBT, hingga saya bisa berdamai dengan seksualitas saya sendiri, silahkan ikuti tulisan-tulisan saya ini. InsyaAllah saya akan terus menulis, karena this is the fight I have chosen.

Tentang saya, mungkin anda mengira akan mendengar kisah yang sama tentang seorang pria gay pada umumnya. Bahwasanya saya waktu kecil mengalami perlakuan buruk di keluarga dan mendapatkan sex abuse dari orang dewasa. Atau bahwasanya saya dari kecil sudah kemayu, suka main boneka dan berteman hanya dengan anak perempuan saja. Lalu karena salah asuhan dan pergaulan ini besarnya saya menyukai sesama jenis.

Let me help you expand your mind: saya waktu kecil bandel dan badung. Saya tidak kemayu. Saya tidak salah asuhan dan tidak mendapat sex-abuse. Saya tidak main sama anak perempuan saja. Saya justru pimpinan geng anak-anak seusia saya yang sekarang besarnya sudah jadi ustad, pedagang, preman, tukang ojek, kuli bangunan dan profesi-profesi macho lainnya.

Besarnya pun saya tidak kemayu. Tampang saya pun seram seperti preman pasar tanah abang. Saya nonton bola, denger musik rock, dan tidak pergi ke gym. Orang-orang banyak bertanya, bagaimana saya bisa jadi gay? Karena saya memilih jadi gay?

Hell no!

Inilah kesalahpahaman yang kemudian berkembang menjadi fitnah, dikoar-koarkan oleh pihak-pihak anti LGBT, yang kemudian memaksa saya menulis catatan-catatan kecil saya ini.

Di negara-negara maju, anggapan bahwasanya menjadi gay itu karena trauma masa kecil, karena pilihan, karena terlular, atau karena salah pilih gaya hidup dan sebagainya sudah lama kadaluwara, sama kadaluwarsanya dengan anggapan bahwa matahari berputar mengelilingi bumi. Orang-orang sudah sangat enggan menjawab diskusi ini, karena tidak worth the effort. Orang yang massih percaya dengan doktrin ini biasanya adalah para bigot yang picik. Mencoba menjelaskan kepada mereka itu sia-sia saja. Seperti hendak mengkonvert pendukung fanatik MU agar mendukung Liverpool. Atau seperti meminta Jonru mengapresiasi hasil kerja Jokowi.

Tapi karena isu ini baru di Indonesia, okelah, saya paham masih banyak yang belum tahu. Jadi inilah bahasan tulisan pertama saya.

Saya tegaskan lagi, tidak ada yang memilih menjadi gay, dan tidak ada yang (andai pun bisa) berniat menularkannya. Saya sudah mendengar ratusan kisah teman-teman LGBT. Tidak satu pun yang bercerita bahwa suatu pagi di hari yang cerah mereka bangun tidur, mandi, sarapan lalu duduk anteng minum kopi. Lalu tiba-tiba saja terbersit ide di kepala, "hmmm … kayaknya jadi gay enak, nih!"

Konyol. Jika boleh memilih, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang mau jadi gay. Di negara-negara maju saja diskriminasi masih kerap sekali terjadi. Apalagi di Indonesia kita tercinta ini, dimana orang-orang yang berbeda dari orang kebanyakan dianggap ancaman bagi kelangsungan peradaban. Karenanya mereka lalu didiskriminasi, dihina, direndahkan derajatnya, dirampas hak-haknya sebagai manusia, dijadikan lelucon dan dilecehkan di setiap kesempatan sosial. Siapa yang memilih hidup seperti itu?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline