Lihat ke Halaman Asli

Karena PLN, Aku Terpaksa Merantau

Diperbarui: 21 Oktober 2016   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Iska Marpaung - dokpri

"Sudah jam 11, ayo kita pulang!" ujarnya mengajak pulang

"Ah tanggung! Sedikit lagi bisa kita selesaikan, ayolah lebih baik kita selesaikan malam ini biar besok aku bisa pulang" balasku sambil tetap menatap layar komputer.

**

2010

Bekerja hingga larut malam adalah hal yang biasa bagiku, terlebih pada akhir hingga awal bulan. Periode ini adalah masa billing rekening listrik dimana kami harus memproses tagihan ratusan ribu pelanggan di Area kami. Datang ke kantor ketika matahari menyapa, dan pulang kembali ke rumah kos diantarkan oleh rembulan. Tapi, entah kenapa aku merasa bahagia dengan hari yang kujalani. Mungkin karena besok adalah hari Jum'at.

Jum'at. 

Ini hari yang selalu kutunggu. Hari dimana ratusan kilometer akan kutempuh diatas aspal jalanan demi mencium tangan Ayah dan Ibu.

"Untung bisa kita selesaikan tadi malam kan bisa pulang dengan tenang tanpa beban " ucapku sekenanya pada teman seruanganku.

"Ah kau kerjanya pulang saja, padahal kampungmu di depan mata. Kalo merantau yang niat dikit dong! Pulangnya setahun sekali kek.. " teriaknya dari balik lemari ordner.

"Justru kampung di depan mata itu kelebihannya bro, bisa pulang lebih sering hahaha..." jawabku sambil terkekeh sembari merapikan isi ranselku.

Selanjutnya hanya suara tawa renyah yang terdengar dari dalam ruangan kami. Saling mengejek dan menertawakan jadi bumbu yang mengisi hari-hari kami.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline