Lihat ke Halaman Asli

Isidorus Lilijawa

Meneropong posibilitas...

Italia Vs Spanyol di Arena Filsafat Bola

Diperbarui: 6 Juli 2021   18:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bola. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Malam ini di pukul 02.00 Wita di layar RCTI, publik sepak bola bakal menyaksikan duel rival abadi, Italia vs Spanyol dalam edisi semifinal Piala Eropa 2021. Polarisasi dukungan kian nyata. Ada yang pro Italia, ada pula yang pro Spanyol. Masing-masing pendukung mengharapkan yang terbaik dari tim kesayangannya. Bahkan harapan itu sampai pada lahirnya mujizat di stadion Wembley dini hari nanti.

Italia di bawah besutan tangan dingin Roberto Mancini menerapkan pola 4-3-3. Sedangkan Luis Enrique menata Spanyol juga dengan pola yang sama. Dari statistic head to head antara Italia dan Spanyol, Italia menang 11, Spanyol 13; imbang 13; total laga 37; gol Italia 51 dan gol Spanyol 51. Dalam edisi Euro, pertemuan terakhir pada tahun 2008, Spanyol menaklukkan Italia di babak perempat final dalam drama adu pinalti dengan skor 4-2.

Ini pengantar saja. Saya tak perlu mengulas panjang lebar soal ini. Langsung saja menyaksikan pertandingan live dini hari nanti. Saya hanya mengajak kita bertolak lebih ke dalam soal sepak bola ini.

Mungkin tidak penting, tetapi bagi saya penting supaya bobot pemahaman kita tentang sepak bola bisa lebih berat, minimal tidak sebatas permaianan di lapangan hijau itu tetapi ada makna tersirat dan terselubung dari sepak bola bagi kehidupan.

* * *

Dalam basis akademik saya seputar filsafat, saya hendak menyajikan menu filsafat bola dalam pertandingan 'hidup mati' Italia vs Spanyol. Tentu ada orang yang bertanya-tanya, apa korelasi antara sepak bola dan filsafat? Apakah sepak bola adalah aktus dari filsafat? Ataukah filsafat adalah prasyarat orang bersepak bola? Pertanyaan-pertanyaan ini nampaknya wajar. Namun, inilah pertanyaan-pertanyaan yang sangat filosofis, yang tentu membutuhkan jawaban filosofis pula.

Sepak bola dan filsafat berada di ruang yang berbeda. Sepak bola itu di ruang (lapangan) hijau. Sedangkan filsafat berada di ruang hijau (ruang kelas bergorden hijau). Ruangan boleh berbeda, tetapi baik sepak bola maupun filsafat, keduanya menghayati spiritualitas yang sama, yakni mencintai kebijaksanaan (philo-sophia). Dalam sepak bola, ada sederet nilai yang harus diperjuangkan dan diaktualisasikan di lapangan.

Sportivitas, kejujuran, disiplin, kerja sama, respek, ketekunan, komitmen, pengorbanan, loyalitas, dan lain-lain. Nilai-nilai ini adalah kebijaksanaan hidup. Sama halnya orang belajar filsafat untuk memahami kebijaksanaan dan mencintainya di dalam hidup.

Sepak bola dengan demikian adalah pengalaman eksistensial manusia. Pengalaman yang sangat erat melekat dengan kedirian manusia sendiri sebagai homo ludens (makhluk yang bermain) dan homo faber (makhluk yang bekerja). Sepak bola adalah aktus dari berfilsafat sebagai pencarian nilai-nilai dan tindakan mencintai nilai-nilai itu.

Ketika filsafat sebagai ilmu dipelajari, sepak bola justru mengimplementasikan kebijaksanaan itu dalam wujud nilai-nilai. Di sisi lain, ini menegaskan bahwa bermain sepak bola tidak melulu perjuangan otot.

Sepak bola adalah juga medan perjuangan nilai. Di sinilah sepak bola membuka diri sebagai ruang yang kaya pada filosofi kehidupan. Banyak pembelajaran tentang kehidupan bisa kita dapatkan di lapangan hijau. Itulah filosofi sepak bola.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline