Presiden Vladimir Putin acapkali terang benderang menganggap Ukraina tak lebih dari wilayah Rusia. “Ukraina bukan sebuah negara”, ujar Putin kepada Presiden George W. Bush saat pertemuan NATO di Bukharest di tahun 2008. Putin bahkan pernah menyebut Ukraina di tahun berikutnya sebagai “Rusia Kecil” (Little Rusia) dengan mengutip istilah itu dari catatan harian Panglima Angkatan Bersenjata Rusia, Anton Denikin.
Tahun 2012, Putin membuat Presiden Ukraina Viktor Yanukovych menunggu terkatung-terkatung selama hampir 4 jam untuk sebuah pertemuan yang dijadwalkan di Yalta. Sesungguhnya, sikap Putin yang senang “jam karet” itu pun sudah lama menjadi pergunjingan media. Tetapi dengan sikap itu kepada Yanukovych, jelas menyiratkan pesan bahwa Yanukovych dianggap tak lebih dari seorang gubernur dalam wilayah Rusia ketimbang kepala negara sebuah negara berdaulat.
Bagaimanapun, Yanukovych, yang kini popularitasnya merosot hampir 20%, di hari-hari belakangan memang seakan-akan membawa gerbong Ukraina makin dekat dengan Moskow. Ia bersikap seperti pendahulunya, Bohdan Khmelnytsky, penguasa Ukraina di pertengahan abad ke-17, yang menerima kedermawanan Tsar Alexei Mikhailovich, sebagai imbalan kesetiaannya kepada Moskow.
Nampaknya, sikap Yanukovych itulah yang mempertajam seruan aksi massa di ibukota Kiev bulan lalu. Pelaku aksi massa bukan saja mengecam Yanukovych yang menolak bergabung dengan Uni Eropa, akan tetapi mereka juga menginginkan sebuah kedaulatan yang lebih substantif vis a vis Kremlin.
Ditinjau dari kacamata sejarah, kedekatan Ukraina dengan Moskow bukan hal baru. Pada tahun 1654, Khemlnytsky menandatangani perjanjian dengan Kekaisaran Rusia, sebagai penanda pengakuan Ukraiana akan pertuanan Rusia di wilayah itu. Kalangan nasionalis mengungkit-ngungkit perjanjian itu sebagai suatu keburukan yang menempatkan Ukraina di bawah koloni Rusia hampir selama 270 tahun dan kemudian dikendalikan Uni Soviet selama 70 tahun.
Pada tahun 1709, penguasa Ukraina, Ivan Mazepa, memihak Swedia dalam perang negara itu melawan Rusia. Swedia menjanjikan kemerdekaan bagi Ukraina. Namun penguasa Rusia, Tsar Peter the Great, menekuk Swedia dan mempertahankan dominasinya di Ukraina, dan sejak itulah disebut sebagai “Little Rusia.”
Tahun 1918, Ukraina memproklamirkan diri sebagai republik merdeka akan tetapi segera dilumpuhkan oleh Pasukan Bolshevick yang kemudian menempatkan pemerintahan boneka. Pada 30 Desember 1922, pemerintahan boneka itu lalu menandatangani perjanjian yang mengakui kedaulatan Soviet atas wilayah itu. Tentu saja perjanjian itu berkedok hubungan yang saling menghormati dan menguntungkan. Tapi 6 tahun kemudian, pada 1928, Joseph Stalin menjalankan program revolusinya. Memerintahkan penguasaan lahan pertanian secara kolektif yang menyebabkan kelangkaan pangan dan kesengsaraan. Para petani yang memprotes dilibas dengan brutal.
Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika Ukraina menyambut pasukan Nazi dengan hangat ketika Hitler memerintahkan aneksasi negara itu. Banyak orang Ukraina yang bergabung di kepolisian, angkatan bersenjata, bahkan pasukan rahasia SS yang terkenal itu. Mereka memandang Nazi sebagai pasukan yang membebaskan Ukraina dari kekejaman Soviet dan berharap Jerman akan membantu negara itu mencapai kedaulatan.
Hampir 45 tahun usai Perang Dunia itu, Ukraiana yang tetap dikuasai Soviet akan tetapi tidak mengalami kemajuan ekonomi, kemudian menjadi Republik pertama yang memerdekakan diri dari Soviet pada Agustus 1991. Setelah 300 tahun dikendalikan Rusia akhirnya Ukraina menjadi negara merdeka.
Leonid Kuchma, yang menjadi Presiden setelah itu, kemudian menghendaki agar Ukraina bergabung ke Uni Eropa tetapi ia tetap menjaga hubungan baik dengan Moskow. Kuchma, yang menulis buku berjudul “Ukraine is Not Russia”, kemudian membuat kesepakatan untuk memenuhi standar Uni Eropa dan mestinya hari-hari ini tinggal ditindaklanjuti dengan peresmian keanggotaan ke perserikatan 28 negara Eropa itu. Tetapi Presiden Yanukovych enggan menindaklanjuti yang kemudian memicu aksi protes. Yanukovych, yang memimpin Revolusi Orange, saat terpilih menjadi Presiden pada 2010, justru mencoba menjalin kedekatan dengan Rusia.
Yanukovych bahkan bertindak represif dengan memenjarakan lawan politiknya, bekas Perdana Menteri Ukraina, Yulia Tymoshenco dengan tuduhan menyalahgunakan wewenang. Tiga tahun sesudah itu, Ukraian terjebak ke dalam resesi, korupsi, lumpuhnya penegakan hukum, kesejahteraan sosial yang makin mundur, infrastruktur yang tidak memadai, dan bagi publik hal itu disebabkan oleh satu hal: dominannya Rusia dalam politik dan ekonomi di negara itu.
Rakyat Ukraiana dalam berbagai aksi protes sebulan terakhir seakan-akan mengulang sikap patriotik pendahulunya yang mencoba melepaskan diri dari Rusia. Mereka setuju dengan apa yang pernah disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, bahwa Putin menjalankan taktik pemerasan dan menyandera Ukraina, dalam rangka kebijakan Sovietisasi. Publik melakukan protes di Kiev, ibukota negara, sebagai energi untuk menyuarakan kekuatan untuk mengecam dominasi Rusia di negara itu. Aksi protes itu memprotes situasi sovok, terminologis ejekan untuk menggambarkan situasi negara itu ketika dikendalikan Soviet selama puluhan tahun. Mereka seperti hendak mengulang keberhasilan revolusi Agustus 1991 menyusul bubarnya Soviet di waktu yang lampau.
Di masa Tsar Peter, Lenin, dan Stalin, Ukraina dipertahankan sebagai wilayah Soviet dengan kekuatan senjata. Dewasa ini tentu Putin tidak mungkin menjalankan aksi yang sama. Putin memberikan tongkat---memblokade perdagangan sehingga arus masuk barang menjadi tersendat ke Ukraina---disertai wortel, dengan memberikan paket hutang sebesar US $ 15 miliar. Rusia pun makin menyingkirkan peran Ukraina sebagai negara transit dalam rangka perdagangan gas, yang awalnya merupakan sumber pendapatan yang menguntungkan.
Tapi hutang US $ 15 miliar itu tetap tidak menentramkan rakyat Ukraina. Itu dianggap tak lebih taktik untuk membeli kesetiaan dan sekadar menjaga perekonomian negara itu menjelang pemilu Presiden 2015 yang akan datang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H