Lihat ke Halaman Asli

Arsitektur Indonesia: Pengaruh Barat dan Relasi Kekuasaan

Diperbarui: 24 Juni 2015   10:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Interaksi Nusantara sejak sebelum terbentuknya politik negara nasional baik melalui perdagangan maupun kolonialisasi dan juga setelah proklamasi kemerdekaan membuahkan sejumlah pengaruh dalam unsur-unsur kebudayaan di dalam masyararakat antara lain dalam model-model arsitektur bangunan.

Selama dasawarsa pertama abad ke-20, politik etis dan pembentukan kotapraja merangsang daya cipta para arsitek. Banyak kawasan hunian Eropa harus dibangun. Demikian juga kantor dan bangunan publik lains eperti berbagai kantor pemerintah, kantor pos, stasiun, dan bank. Misalnya, di Jakarta, dari zaman itulah berasal penataan wilayah di dekat Stasiun Kota (dengan bangunan De Javasche Bank), dan sederetan kantor dan toko.  Di Bandung dibangun kawasan perdagangan di Jalan Braga dan Kantor Gubernur (populer dengan sebutan Gedung Sate). Gaya bangunan-bangunan ini telah bercampur aduk, antara lain dekorasi menggunakan material baru (patri dan keramik) dan mendapat pengaruh dari motif-motif “Hindu Jawa” yang ditemukan kembali pada saat yang sama oleh para arkelog.  Semua bangunan ini megah dan itu merupakan ciri bangunan kolonial yang menghendaki kemegahan.

Keberhasilan lain arisetektur modern yang dibawa oleh arsitek Belanda pada awal abad ke-20 adalah penyesuaiannya yang baik dengan iklim tropis lembab yang ada di Hindia Belanda. Di dalam praktek pembangunan penyesuaian dengan iklim tropis setempat itu dinyatakan dalam detail-detail elemen untuk melindungi bangunan dari sinar matahari dan untuk melindungi tamoiasnya air hujan yang masuk melalui pembukaan jendela.

Ciri khas lain dari bangunan kolonial tropis adalah dalam tata ruang ada ruang-ruang perantara antara ruang dalam dengan ruang luar, yaitu teras-teras baik itu di depan, di samping, maupun di belakang. Pada bangunan bertingkat dapat juga ditampilkan dalam bentuk balkon. Untuk tampilan lain juga memiliki perspektif yang khas. Misalnya atap. Sudut kemeringan atap umumnya besar. Di Belanda, kemeringan ini untuk mempermudah turunnya salju yang menempel di atap bangunan. Sementara ketika diterapkan di Indonesia, lebih ditujukan untuk meminimalkan panas atau tamplkas karena hujan pada bangunan. Terkadang juga ditampilkan plat luifel atau kanopi sebagai pengganti tritisan dengan fungsi yang sama.

Model-model Barat lebih mudah meluas setelah kemerdekaan sejak dibukanya jurusan arsitektur di ITB. Langkah lebih jauh adalah munculnya gedung pencakar langit, suatu “penggabungan yang berani antara suhu dan beton”, demikian diungkapkan oleh sejarahwan Prancis yang menguasai historiografi Indonesia, Dennys Lombard. Arsitektur kolonial senantiasa tampil dan direncanakan dengan memperhatikan iklim, dengan mengatur aliran udara memperhatikan ketinggian langit-langit (rata-rata 3,5 meter) dan menghindari tingkat yang banyak. Dengan petak-petak yang kedap dan berpenyejuk, serta lift menimbulkan perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari.

Pencakar langit, yang ada di Jepang dan Singapura, segera menarik minat Presiden Soekarno, yang sellau ingin membawa negerinya ke jalan kemajuan. Maka lahirlah proyek jalan raya Thamrin, yang dibangun di sebelah selatan jalur Deandels, untuk menghubungkan antara Jakarta dengan Kemayoran. Di sepanjang jalan itu, setiap bangunan baru harus minimal bertingkat 6. Pada masa Soekarno, dibangun bangunan besar Hotel Indonesia (diresmikan 5 Agustus 1962, yang dirancang oleh arsitek AS, Abel Sorensen dan isterinya, Wendy) dan Toserba Sarinah (mulai dibangun 1963 dan diresmikan 1967), juga beberapa kantor pemerintah.  Di sebelah timur laut Monumen Nasional  dibangun Masjid Istiqlal (diresmikan Presiden Soekarno 24 Maret 1951), masjid yang terbesar di Asia Tenggara.

Pemerintahan Soeharto kemudian mempercepat pembangunan beberapa proyek tersebut, antara lain Wisma Nusantara, yang banyak tertunda karena krisis politik. Wisma Nusantara belakangan menjadi kantor banyak perusahaan-perusahaan Jepang.  Jalan Thamrin terus dibangun. Beberapa kedutaan asing berkantor di sana.

Hotel dan pencakar langit bermunculan: lantai-lantainya disewakan kepada sejumlah perusahaan asing. Seterusnya model bangunan ini ditiru di kawasan lain ibukota. Misalnya, lebih ke selatan, di sepanjang Jalan Sudirman yang menghubungkan Hotel Indonesia dengan Gelanggang Olahraga Senayan. Di sepanjang jalan itu kampung-kampung hilang dan diganti dengan proyek-proyek bangunan baru. Lalu di sepanjang bypass, jalan lingkar yang mengitari kota. Kita dapat melihat pula pencakar langing di tengah-tengah kota lama yang bertarung dengan menjulangnya bangunan klasik kawasan Lapangan Banteng, sekitar Hotel Borobudur, dan katedral. Banyak bangunan gedung sejak Orde Baru didukung pembiayaan asing, demikian pula perencanaannya oleh tenaga asing sehingga lebih memperhatikan kepentingan mereka dibandingkan cap sebagai bangunan nasional.

Walaupun demikian, sebagai karya cipta bangsa Indonesia sendiri, dapat dilihat pada bangunan yang menggunakan beton bertulang untuk membuat sesuatu yang bukan sekdar kotak persegi. Gedung DPR-MPR sekarang, yang semula dibangun untuk menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika II (Conefo atau Conference of the New Emerging Forces, yang tidak jadi diselenggarakan), dari sudut pandang arsitektur merupakan sebuah adikarya keangunan gedungnya yang berbentuk kubah dinaungi “sayap” semen yang ditopang busur ganda. Arsiteknya adalah Soejoedi Wirjoatmodjo (dibantu oleh Ir. Sutami),  orang Jawa yang membangun gedung kedutaan Prancis. Rancangan gedung tersebut diperoleh dari hasil sayembara pada 8 Maret 1965. Adapula bangunan fenomenal yang mengundang decak kagum dunia internasional saat itu, yaitu Jembatan Semanggi.  Beberapa seniman dan teknokrat yang terlibat antara lain Prof. Rooseno dan Ir. Sutami (konstruksi/sipil), Henk Ngantung (pelukis, kelak Gubernur DKI Jakarta, 1964-1965), dan F. Silaban (Arsitek, yang juga merancang Masjid Istiqlal).

Ada sejumlah infrastruktur dan bangunan lain yang merepresentasikan gagasan Soekarno tentang nasionalisme dan kebangganan sebaga bangsa. Di samping Gedung DPR/MPR, juga ada gedung Gelora Bung Karno, Masjid Istiqlal, dan Monumen Nasional. Fenomena ini tentu dapat dicaba sebagai upaya Soekarno untuk melepaskan diri dari citra kolonialisme yang membelenggu, suatu diskontinuitas, dan tampil sebagai bangsa yang modern.

Soeharto yang menggantikan Soekarno berupaya menghapus apa yang telah dilakukan oleh pendahulunya. Ingatan kolektif bangsa dicuci dengan citra, bentuk, dan perhatian baru. Keriuhan revolusi digantikan dengan derap pembangunan. Perspektif tentang bagaimana bangsa ini akan dibawa juga berbeda. Demikianlah, Taman Mini Indonesia Indah, digagas sebagai cermin dari konsep pemersatu bangsa. Sementara, Yayasan Amal Bakti Muslim yang dikelola Soeharto berkeinginan untuk menyeragamkan bentuk baku masjid, bentuk segi lima, melalui tuturan yang mengacu kepada kebudayaan Jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline