Lihat ke Halaman Asli

Mengenang "Perempuan Besi"

Diperbarui: 24 Juni 2015   15:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Mantan Perdana Menteri Inggris, Margareth Thatcher, diberitakan meninggal dunia, hari ini Senin (8/4). Satu-satunya perempuan yang pernah menjadi Perdana Menteri dalam sejarah ketatanegaraan Inggris ini meninggal dunia karena stroke dan mencapai usia 87 tahun (lahir 18 Oktober 1925). Thatcher memperoleh gelar kebangsawanan “Lady” dari Ratu Elizabeth II pada tahun 2002.  Gelar ini memberikan lisensi kepadanya untuk menjadi anggota House of Lords, salah satu kamar Parlemen Inggris untuk seumur hidup.

Thatcher bukan politisi karbitan karena kedekatan atau dinasti. Ia merupakan peneliti kimia lalu menjadi pengacara dan terpilih sebagai anggota Parlemen pada tahun 1959. Perdana Menteri Edward Heath sebagai Menteri Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan pada tahun 1970. Dengan kerja kerasnya, pada 1975 dia berhasil menjadi Ketua Umum Partai Konservatif. Suaminya, Denis Thatcher tidak pernah berpolitik dan dikenal sebagai “bapak rumah tangga” yang tidak segan menjalankan tugas rumah tangga seperti rumah dan mengasuh anak, tidak pernah mencampuri urusan politik isterinya sampai meninggal dunia (1992).

Pada tanggal 3 Mei 1979, rakyat Inggris menorehkan sejarah dengan semboyan “British people…voted for a change” ketika memberikan dukungan penuh kepada Thatcher yang menjadi Ketua Umum Partai Konservatif. Dalam setiap kampanye, Thatcher dan partainya meformulasikan “sesuatu yang tidak biasa” dalam sistem politik di Inggris, dengan mengajak pemilih bergerak secara radikal dari status quo. Pada tingkat platform economic, Thatcher menawarkan kontrol ketersediaan anggaran melalui target-target yang diawasi oleh masyarakat, pengurangan bertahap atas defisit anggaran, menghapus kontrol harga barang oleh pemerintah, mengurangi tabungan pemerintah dan tingkat pemungutan pajak, khususnya bagi mereka yang tergolong sebagai masyarakat dengan tingkat pendapatan yang rendah. Tak kurang, Thatcher juga menawarkan pengurangan skema anggaran bagi the welfare state programme, yang sarat dengan subsidi dan bermacam-macam tunjangan yang menguras anggaran negara. Thatcher juga menawarkan keinginan supaya pemerintah tidak lagi berbisnis melalu perusahaan negara, tetapi negara harus melepas kepemilikan saham-saham tersebut melalui privatisasi. Di sisi lain, terhadap kebijakan fiskal, tata kelola hutang, dan pengendalian tingkat suku bunga rendah, akan ditawarkan sebagai bentuk pengendalian langsung dalam sistem keuangan domestik dan pasar mata uang asing. Kelak, kebijakan ekonomi itu disebut sebagai Thatcernomics dan berkembang pesat sebagai ideologi baru dunia bersama-sama dengan platform Presiden Amerika Serikat saat itu, Ronald Reagen.

Dukungan pemilih yang besar akhirnya menghantarkan Thatcher menjadi penghuni 10 Downing Street, julukan bagi Kantor Perdana Menteri Inggris yang legendaris itu, dan memulai jabatan pada Juni 1979. Ia menjadi ikon baru bagi peran substantif perempuan politisi di tengah dominasi kalangan laki-laki. Dalam film “The Iron Lady” kita memperoleh gambaran betapa dunia politik Inggris saat sarat dengan maskulinitas. Kita juga menyaksikan ketegaran dan juga “galaknya” Thatcher ketika memimpin Kabinet yang semua menterinya adalah laki-laki. Kemenangan Thatcher mengembalikan peran Partai Konservatif dan akhirnya sepanjang masa jabatannya yang panjang (1979-1990), Thatcher berhasil merumuskan mantra politik baru: memulihkan kejayaan kalangan Conservatism, membentuk pasar bebas sebagai filsafat publik, dan menciptakan situasi “free economics” yang membatasi peranan pemerintah.

Pemerintahan Thatcher sukses menampilkan citra “strong government” yang menolak berunding dengan serikat pekerja dan mulai tidak simpatik dengan aksi-aksi solidaritas buruh. Ngototnya Thatcher untuk mengurangi “sumbangan anggaran” ke Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), kelak menjadi Uni Eropa, menjadikan ia meperoleh julukan “The Iron Lady” (Perempuan Besi), dan kekerasan sikapnya berlanjut saat memerintahkan angkatan bersenjata Inggris, di mana saat Pangeran Charles aktif sebagai perwira Angkatan Laut, untuk merebut Kepulauan Falkland yang diklaim oleh Argentina. Ia mengecam keras perbedaan pendapat diantara anggota Partai Konservatif dan menekankan loyalitas terhadap partai dalam formulasi kebijakan di Parlemen. Dengan situasi itu, di bawah Thatcher, Parlemen tumbuh menjadi organ berkuasa yang tidak dikendalikan oleh eksekutif. Bahkan, Thatcher menolak pengambilan keputusan yang bertele-tele dan terlalu banyak rapat oleh Kabinet. Keputusan-keputusan penting banyak diputuskan secara sepihak dengan hanya mendengar saran dari sejumlah kecil menteri atau penasehat terdekatnya.

Gaya pemerintahan semacam itu yang gagal diteruskan oleh penggantinya John Major (1990-1997) selama menjadi Perdana Menteri karena cenderung dicap sebagai “a weak leader”oleh pemilih dan akhirnya gaya semacam itu berubah sama sekali, saat Tony Blair dari Partai Buruh menjadi Perdana Menteri (1997-2007) yang lebih bergaya sebagai “presidential style” dan sekaligus oleh pengamat melahirkan identifikasi pembedaan yang tajam dengan gaya politik Thatcher.

Sikap tegas Thatcher yang ingin mengontrol sistem keuangan didorong oleh kebijakan untuk mengurangi laju inflasi saat itu karena melonjaknya harga minyak dan depresiasi poundsterling. Inflasi berhasil dikendalikan dalam 4 tahun masa jabatan awal, sekalipun dikritik tidak pernah menjadi kebijakan moneter yang sukses, tetapi cukup untuk menahan Inggris jatuh dalam kubangan krisis yang berkepanjangan. Bahkan kebijakan itu menjadi boomerang karena kemudian memaksa Thatcher melakukan deregulasi pasar keuangan yang menciptakan ledakan peminat pasar uang yang tidak pernah terprediksikan sebeumnya, yang bahkan menambah laju inflasi tersebut. Saat meninggalkan jabatan, inflasi di Inggris mencapai 8%, sedikit lebih rendah dibandingkan saat Thatcher memulai jabatan tahun 1979 yang mencapai 10%.

Demikian juga kebijakan industrial yang tak pernah memulihkan produktivitas ekonomi dan baru berdampak sekitar tahun 1987. Kebijakan Thatcher dinilai merupakan kemunduran karena justru mengakibatkan hampir 1 juta pekerja kehilangan lapangan kerja. Thatcher sendiri secara tegas menolak anggapan itu karena pertumbuhan ekonomi dengan basis capaian kondisi sebelumnya merupakan hal yang mustahil dan strategi yang tepat adalah mencapai kemungkinan pertumbuhan ekonomi dengan memperkuat industri dan efisiensi pekerja.

Di sektor politik, Thatcher berambisi untuk mengurangi kekuasaan pemerintahan daerah, suatu kebijakan yang bertahun-tahun sebelum memperoleh tentangan dari para politisi. Pemerintah daerah dipaksa untuk meninggalkan banyak kewenangan, antara lain tuntutan tenaga kebersihan dan pekerjaan umum diadakan dengan tender di bawah aturan pengadaan jasa yang ketat.  Pemerintah Thatcher berharap kebijakan itu akan menciptakan aliran pemikiran baru yang mana memuja kedigdayaan pemerintah pusat dalam mengendalikan kebijakan. Undang-Undang Pemerintahan Daerah 1987 menjadi bukti keseriusan Thatcher dalam mereduksi kewenangan daerah, termasuk memperkenalkan skema pajak baru, subsidi pemerintah pusat, dan sebagainya.

Agenda Thatcher yang populer adalah privatisasi. Inti agenda ini ada 2: nasionalisasi (penjualan saham dan aset negara) dan liberalisasi (mengurangi monopoli negara). Kebijakan ini mempunyai tujuan sekaligus secara ideologis dan pragmatisme. Secara ideology, kebijakan ini melahirkan kebebasan ekonomi yang lebih luas dan disertai dengan pengurangan kebebasan berpolitik. Secara pragmatis, absennya pemerintah dalam aktivitas komersial akan mengurangi tata kelola yang tidak efisien. Hasil privatisasi kemudian berhasil menghimpun dana sebesar 4400 miliar poundsterling, yang menjadi ikon yang laku dijual untuk meraup suara pemilih dalam pemilu 1987.

Salah satu image penting selama menjadi Perdana Menteri adalah seleranya soal berpakaian. Dalam salah satu wawancara dengan BBC  (1986) silam, ia berkata, “Who do I dress for? I really dress for the occasion and for the job and it is very important.”

Legacy Thatcher yang paling penting adalah impresi. Ia telah mempertunjukkan peran yang kompleks. Ia merupakan ahli kimia, isteri, pengacara paten, politisi, dan kemudian menjadi Ketua Umum Partai Konservatif dan perempuan pertama perdana menteri; yang mampu melampaui rintangan kelas, pendidikan, dan gender. Selama menjadi Perdana Menteri, ia meyakini adanya kebutuhan prinsip kunci politik dan masyarakat Inggris.  Keputusannya terjun ke dunia politik merupakan salah satu keputusan terbaiknya selama hampir 40 tahun perkawinannya dengan Denis Thatcher. Ia sungguh beruntung tetap berhasil menjalankan peran sebagai isteri dan ibu bagi anak-anaknya, Mark dan Carol.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline