Lihat ke Halaman Asli

Mahkamah Konstitusi Batalkan Pemilu Tak Serentak, Ciptakan Krisis Baru

Diperbarui: 24 Juni 2015   00:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mahkamah Konstitusi Thailand membatalkan hasil pemilihan umum bulan Februari yang lalu dalam putusan yang diucapkan pada Jumat (21/3) pekan ini. Mahkamah memerintahkan diadakannya pemilu baru. Putusan ini  memperparah krisis politik di mana demonstran telah menduduki ibukota selama 4 bulan untuk menuntut pembubaran pemerintahan sementara Perdana Menteri Yingluck Shinawatra.

Dengan suara 6:3, hakim konstitusi menyatakan pemilihan 2 Februari lalu inkonstitusional karena pemungutan suara tidak diadakan pada hari yang sama di 28 daerah pemilihan di mana demonstran menolak daftar calon yang diajukan mendaftar. Konstitusi mengatakan pemilu harus diadakan pada hari yang sama secara nasional, meskipun juga memungkinkan pemungutan suara susulan.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Thailand Supachai Songcharoen mengatakan akan memerlukan setidaknya tiga bulan untuk melaksanakan pemilihan baru. Pada tahun 2006, ada jeda waktu selama 8 bulan sebelum penjadwalan ulang pemungutan suara setelah pemilu itu dibatalkan, tapi tentara melakukan kudeta sebelum mereka bisa mengambil keputusan.

Thailand telah mengalami dari konflik politik sejak saat itu.

Pemerintah telah menuduh Komisi Pemilihan Umum terlibat dalam kegagalan pemungutan suara karena gagal untuk mengambil tindakan agresif terhadap para pengunjuk rasa.

Partai yang dipimpin oleh Yingluck mempertanyakan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk menerima kasus ini, tetapi tidak mengatakan apa yang mungkin dilakukan sebagai responnya. Partai ini merasa telah diperlakukan tidak adil oleh pengadilan dan oleh Komisi Pemilihan Umum. Verapat Pariyawong, seorang analis politik independen, mencemooh keputusan pengadilan. "Ini tidak lagi masuk akal untuk menjelaskan situasi politik saat ini di Thailand dengan mengandalkan prinsip-prinsip hukum dan kerangka konstitusional," katanya. "Situasi saat ini menggambarkan fenomena politik baku dimana aturan hukum diabaikan dan dilucuti agar sesuai dengan tujuan politik."

Sebaliknya, kalangan oposisi menyambut gembira putusan Mahkamah Konstitusi itu. "Putusan pengadilan menyajikan kesempatan bagi Thailand untuk melaksanakan reformasi yang diperlukan sehingga kita semua bisa maju bersama sebagai bangsa," kata juru bicara gerakan protes Akanat Pomphan.

Para penentang Yingluck juga berharap bahwa kegagalan untuk membentuk pemerintahan baru akan memicu krisis konstitusi, yang memungkinkan mereka untuk menggunakan klausa samar-samar dalam konstitusi untuk memiliki perdana menteri melalui penunjukkan.

Sejak krisis politik dimulai Desember 2013 lalu, Perdana Menteri sementara Yingluck Shinawatra  telah menolak tuntutan para pengunjuk rasa untuk mengundurkan diri dan melaksanakan pemilihan umum lebih awal dari jadwal untuk menerima mandat baru. Para pengunjuk rasa berusaha untuk mencegah pelaksanaan pemungutan suara, secara fisik menghalangi dan mengintimidasi calon dan pemilih.

Partai Pheu Thai yang dipimpin olehYingluck dan pendahulunya telah dengan mudah memenangkan setiap pemilihan nasional sejak tahun 2001. Partai ini diperkirakan akan menang lagi pada bulan Februari, terutama karena oposisi Partai Demokrat memboikot pemilu.

Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, kakak kandung Yingluck, digulingkan dalam kudeta tahun 2006 setelah dituduh korupsi dan menyalahgunaan kekuasaan. Pendukung dan penentang Thaksin bentrok di jalan-jalan untuk waktu yang lama dalam perebutan kekuasaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline